Connect with us

Feature

Jemaat GSJK Tlogosari: Jalan Panjang Menanti Beribadah dengan Tenang

Published

on

Lebih kurang 30 jemaat melaksanakan ibadah di GSJK Tlogosari, Minggu (19/10/2025). doc: lpmmissi. com/Ayu
Lebih kurang 30 jemaat melaksanakan ibadah di GSJK Tlogosari, Minggu (19/10/2025). doc: lpmmissi.com/Ayu

Sekitar 30 jemaat Gereja Sidang Jemaat Kristus (GSJK) Tlogosari, Semarang, nampak khusyuk berdoa. Lantunan kidung puji-pujian dengan iringan gitar menambah semangat ibadah Minggu di ruangan berkapasitas 50 orang, pada Minggu (19/10/25).

Para jemaat beribadah pada sebuah bangunan bercat putih lantai satu yang berdiri di antara permukiman warga. Pada gedung uang dibangun pada tahun 2009 itu, mereka beribadah di tengah keresahan nasib rumah ibadah mereka. Salah satunya Sunarti (66), jemaat yang 10 tahun terakhir ini tinggal tak jauh dari lokasi GSJK.

”Kami percaya pada Tuhan dalam kondisi apapun meski banyak tantangan. Secara pribadi kalau ada tekanan dalam diri ya, berdoa. Solusinya biarkan Tuhan yang menyelesaikan,” ungkapnya dengan nada bicara pelan, merespons polemik pembangunan gedung GSJK yang hingga kini tak kunjung selesai.

Meski tak menjelaskan persoalan yang menjadi ganjalan perizinan GSJK, Sunarti mengaku kehidupan bermasyarakat di kawasan Tlogosari cukup baik. “Tetangga di sini sama-sama baik kayak saudara, nggak ada masalah. Warga setempat tidak ada masalah apa-apa. Misal ada persekutuan (di rumahnya), semua nggak masalah meski di depan sini kalau sore kadang-kadang ada yang nyanyi dan kalau pas di sini ada persekutuan juga,” jelasnya saat ditemui tim LPM Missi, Kamis (2/10).

Menurutnya, gedung itu dibangun karena kebutuhan umat untuk beribadah. Dahulu, hanya beberapa jemaat, kini bangunan yang disebut sebagai Hall 3, dipenuhi jemaat ketika mengadakan persekutuan. “Awal mula hanya berapa orang, tapi Tuhan palingkan orang-orang yang tadinya nggak percaya terus percaya,“imbuhnya.

Para jemaat beribadah di Gereja Sidang Jemaat Kristus, meski secara legalitas belum mengantongi izin pendirian rumah ibadah sesuai yang tertuang dalam Peraturan Walikota Semarang Nomor 46 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Penerbitan Izin Mendirikan Rumah Ibadat di Kota Semarang.

Pembimbing dan pelayan jemaat GSJK, Pendeta Cacuk Yosef Tentua, bercerita awal polemik rumah ibadah ini. “Saya dipanggil oleh warga sekitar hingga ke Bareskrim, dan dianggap membuat kegaduhan di tengah kekondusifan warga sekitar Tlogosari Raya,” ujarnya, saat ditemui Selasa (16/9).

Dari pengakuannya, sejauh ini aktivitas peribadatan tak lebih dari 50 orang jemaat. Aktivitasnya hanya doa dan kidung pujian. Tanpa musik drum band yang dianggap memicu kebisingan.

“Kalau pujian, kami hanya memakai alat musik gitar,” tuturnya.

Sesuai Peraturan Walikota Semarang Nomor 46 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Penerbitan Izin Mendirikan Rumah Ibadat di Kota Semarang, menyebutkan proses perizinan diperlukan bukti pengesahan dari RT, RW, dan kemudian kelurahan yang mengkonfirmasi keaslian identitas 60 warga setempat. Syarat ini harus dipenuhi sebelum mendapatkan surat rekomendasi dari FKUB dan Kantor Kementerian Agama Kota Semarang.

Menurut Pendeta Yosef, pihaknya terkendala mendapatkan pengesahan dari RT/RW setempat. Tidak hanya penundaan izin, tetapi penolakan.“Ada yang menolak dan mengatakan bahwa bangunan ini dulu izinnya untuk perumahan, bukan untuk beribadah,” jelas pendeta Yosef.

Rupanya, sebagian warga yang berdekatan dengan GSJK merasa tidak nyaman dengan aktivitas peribadatan di rumah bernomor 82 itu. Mereka juga khawatir muncul konflik horizontal di lingkungan sekitar.

Jemaat berpindah-pindah untuk beribadah

Jemaat memanjatkan doa sebelum kegiatan ibadah selesai di GSJK Tlogosari, Minggu (18/10). doc: lpmmissi.com/Ayu

Jemaat memanjatkan doa sebelum kegiatan ibadah selesai di GSJK Tlogosari, Minggu (18/10). doc: lpmmissi.com/Ayu

Untuk meredam konflik, aktivitas peribadatan dihentikan “Waktu itu ada tekanan sosial dan protes warga. Jemaat pun memutuskan tidak lagi menggunakan rumah ini sebagai tempat ibadah. Pengurus bahkan berupaya menjual bangunan,” imbuhnya.

Sejak tahun 2010 hingga 2019, jemaat berpindah-pindah tempat ibadah. Kadang ibadah dilakukan bergilir di rumah pribadi jemaat, atau di GSJK Seteran Semarang yang jaraknya sekitar 20 menit dari GSJK Tlogosari.

“Ibadah mingguan juga pernah berlangsung di gereja di daerah Jalan Supriyadi selama lebih dari dua tahun. Kami menyewa dengan membayar Rp 77 juta per tahun karena keinginan untuk bisa beribadah. Ya, mahal sekali, dananya diambil dari iuran jemaat,” ucap Pendeta Yosef.

Tak hanya itu, untuk memudahkan jemaat beribadah, pihak pengurus menyediakan fasilitas jemputan bagi para jemaat yang akan beribadah. Sunarti, juga ikut berpindah-pindah tempat beribadah.

“Di mana ada persekutuan, saya ikut, Di Supriyadi okelah, pindah di sana empat kali. Nggak masalah, kan kami datang mau beribadah. Kalau ibadah itu hati dan iman sudah tetap, ke manapun nggak masalah karena keinginan mau ibadah,” ucap perempuan yang sangat bersemangat ketika pergi beribadah.

Pada perkembangannya, rumah yang selama ini digunakan jemaat beribadah, belum laku terjual.
Di tahun 2021, jemaat memutuskan kembali ke GSJK dan memperbaiki bangunan yang sempat terbengkalai itu. Sebelum renovasi dilakukan, pengajuan izin pendirian rumah ibadah atau yang sekarang disebut Izin Mendirikan Bangunan (IMB) telah diurus.

Kepada tim LPM Missi, Pendeta Yosef mengungkapkan, persyaratan administrasi telah terpenuhi. Termasuk tanda tangan 90 pendukung dan 60 warga sekitar sesuai pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Pendirian Rumah Ibadah.

Namun, di luar kertas, masih ada penolakan dari sekelompok masyarakat yang merasa “tidak nyaman” dengan keberadaan rumah ibadah tersebut.

Peraturan Walikota Semarang Nomor 46 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Penerbitan Izin Mendirikan Rumah Ibadat di Kota Semarang, dirasa cukup menghambat dalam proses perizinan. Utamanya, adanya ketentuan bukti pengesahan dari RT, RW, dan kelurahan setempat yang mengkonfirmasi keaslian identitas 60 warga setempat yang menandatangani persetujuan. Proses ini harus dilakukan sebelum mendapatkan surat rekomendasi dari FKUB Kabupaten/Kota dan Kemenag Kabupaten/Kota setempat.

Upaya untuk mendapatkan pengesahan dari RT/RW setempat sempat terkendala, berupa pemundaan bahkan penolakan. “Ada yang menolak, dan mengatakan bahwa bangunan ini dulu izinnya untuk perumahan, bukan untuk beribadah,” ujar pendeta Yosef.

Untuk mencari titik temu, pihak pengelola GSJK melakukan berbagai upaya pendekatan persuasif. Di antaranya pendekatan dengan warga setempat yang tinggal di sebelah bangunan rumah ibadah. Selain itu, meminta bantuan Yayasan Pelita, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, dan Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA).

“Tujuannya, memperjuangkan rumah ibadah agar jemaat dapat kembali beribadah,” ucapnya..

Mediasi mencari jalan tengah

Menanggapi polemik rumah ibadah GSJK Tlogosari, Ketua RT 9 RW 3, Martiknyo, menyatakan, perlu intervensi pihak ketiga yang menjembatani antara pihak gereja dan warga agar suasana kondusif.

“Seperti dengan FKUB untuk menjadi perantara yang turut menjelaskan mengenai kebebasan warga dalam beragama dan beribadah, yang dapat menerima perbedaan, agar tercipta kesamaan berpikir yang bisa membuat keadaan lingkungan lebih kondusif,” ucapnya saat ditemui tim LPM Missi, Minggu (4/10/25).

Pada awal tahun 2025, Martiknyo mengaku pernah melakukan pertemuan dengan pihak FKUB, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Semarang, dan salah satu warga yang menolak untuk membahas permasalahan pendirian rumah ibadah GSJK. “Belum ada hasil kesimpulan yang pasti,” katanya tanpa menjelaskan dengan gamblang hasil pertemuan tersebut.

Di lain kesempatan, tim LPM Missi bertemu Sapto, warga Tlogosari yang disebut Martiknyo sebagai warga yang menolak pendirian GSJK dan tinggal di sebelah bangunan rumah ibadah itu.

Ditemui di rumahnya, Sapto menegaskan tidak keberatan jika bangunan di sebelah rumahnya digunakan untuk aktivitas beribadah. Menurutnya, setiap warga memiliki hak yang sama untuk beribadah. Namun, dia jelas membatasi pelaksanaan kegiatan hanya dua bulan sekali.

“Ketika Yosef mendatangi saya dan meminta izin memakai rumah itu untuk kebaktian, ya saya izinkan jika bukan untuk kegiatan ibadah rutin. Hanya untuk dipakai dua bulan sekali,” ucapnya kepada tim LPM Missi pada Jumat (10/10) sambil membuka lembaran kertas yang berisi dokumen tanda tangan 300 orang warga setempat yang menolak pendirian GSJK. Penandatanganan itu dilakukan pada tahun 2016 dengan bantuan beberapa ketua RT setempat.

Surat pernyataan warga lingkungan RW 3 Kelurahan Muktiharjo Kidul Kota Semarang, yang menyatakan keberatan dan menolak seluruh kegiatan di GSJK Tlogosari.

Surat pernyataan warga lingkungan RW 3 Kelurahan Muktiharjo Kidul Kota Semarang, yang menyatakan keberatan dan menolak seluruh kegiatan di GSJK Tlogosari.

Sapto beralasan pembuatan surat pernyataan menolak disertai tanda tangan warga itu karena aktivitas di GSJK dinilai sudah melebihi batas. Para jemaat beraktivitas tiga kali dalam seminggu, tidak sesuai dengan perjanjian di awal. Sebelumnya, para jemaat hanya diizinkan untuk menggunakan tempat itu dua bulan sekali.

Buntut tanda tangan penolakan tersebut, Yosef dipanggil ke kepolisian untuk dimintai keterangan. “Kalau saya memang salah, kenapa tidak ada pemanggilan. Kalau saya yang dipanggil polisi ya saya terima saja, tetapi nyatanya Yosef yang dipanggil. Atau, dari pemerintah ada aturan baru, saya salah. Saya tunduk saja,” lanjut Sapto yang semakin yakin tindakan yang dilakukan itu benar setelah pertemuannya dengan FKUB dan Kesbangpol Kota Semarang. Tidak ada instruksi yang harus ditindaklanjuti dari polemik tersebut.

Sapto mantap dan bersikukuh menolak keberadaan GSJK dengan berpegang pada aturan PBM Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Menurutnya, melalui peraturan tersebut, sebagai warga negara ia memiliki hak menolak pembangunan GSJK dan permukiman tidak diperbolehkan untuk pembangunan rumah ibadah.

Selain itu, Sapto juga berpegang pada Surat Gubernur KDH TK. I Jawa Tengah Nomor 451 tahun 1992 tentang Pendirian Rumah Ibadah, dan Instruksi Menteri Agama RI Nomor 6 tahun 1966 tentang Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama.

Toleransi di atas kertas?

Polemik pendirian rumah ibadah ini tentu menjadi noktah merah bagi Kota Semarang yang dinobatkan Setara Institute sebagai Kota Toleran ketiga se-Indonesia pada tahun 2024. Indikatornya, dari kinerja kota dalam mengelola keberagaman, toleransi, dan inklusi sosial. Kota Semarang memperoleh skor 6,356 yang didapatkan diantaranya berdasarkan regulasi dan menerbitkan rekomendasi bagi rumah ibadah.

Menjadi kota toleransi, ternyata tidak menjamin kemudahan dalam mendirikan rumah ibadah atau bahkan untuk beribadah sebagai hak dasar yang seharusnya dilindungi. GSJK Tlogosari menjadi bukti, sekadar mendapatkan perizinan saja memerlukan waktu bertahun-tahun.

Menanggapi polemik perizinan rumah ibadah, Ketua Lembaga Persatuan Lintas Agama (Pelita), Setyawan Budy mengistilahkan kondisi Kota Semarang sebagai “Pseudo Harmoni” atau harmoni yang semu.
“Ibarat sungai di atas tenang tapi di bawah tidak. Indeks toleran salah satu hal yang ditakuti oleh kepala daerah, pada akhirnya membuat mau, yang penting kondusif, meski ada hak-hak yang tidak terpenuhi,” tuturnya, Rabu (24/9).

Ia menyayangkan polemik GSJK Tlogosari dan mengkritik negara yang harusnya mengambil peran untuk menyelesaikan perselisihan baik secara regulasi maupun persuasif. Pelita tidak dapat sepenuhnya mendampingi karena sudah ditangani FKUB.

Menurutnya, ketika ada hambatan pada permohonan izin pendirian rumah ibadah, peran pemerintah, termasuk RT, RW, Lurah, hingga Camat, semestinya harus netral. Bahkan, baiknya mendukung. Niat orang beribadah itu pasti baik jika syarat-syaratnya terpenuhi mestinya dalam posisi mendukung.

“Ketika terjadi kendala, seperti penolakan, mereka wajib membantu untuk menjelaskan kepada warga bahwa hak beribadah setiap warga negara itu dilindungi oleh UU dan negara harus memfasilitasinya,” ujar Wawan, sapaan akrabnya,

Lembaga FKUB Kota Semarang menjadi bagian dari semi pemerintahan, yang memiliki mandat sebagai jembatan komunikasi dan kerukunan umat beragama. Tim LPM Missi menemui Sekretaris FKUB Kota Semarang, Syarif Hidayatullah yang turut andil dalam menangani kasus pendirian rumah ibadah di GSJK Tlogosari.

Sekretaris FKUB Kota Semarang, Syarif Hidayatullah. doc: lpmmissi. com/Hasan

Sekretaris FKUB Kota Semarang, Syarif Hidayatullah. doc: lpmmissi. com/Hasan

Syarif menjelaskan, posisi FKUB dalam tugasnya tidak boleh memihak dan menindaklanjuti laporan dengan melakukan observasi melalui verifikasi tertutup dan terbuka. Ini dilakukan untuk mencegah kesalahan informasi.

“Risikonya tinggi ketika turun ke lapangan. Terkadang kami menjadi ancaman bagi orang lain, jika salah menarasikan karena bisa saja kami dianggap orang yang liberal, menguntungkan atau berpihak agama lain. Kami harus berhati-hati,” jelasnya, saat ditemui pada Senin (22/9).

Pihaknya menindaklanjuti permasalahan tersebut. Pada awal tahun 2025, pihaknya menggelar pertemuan bersama Kesbangpol untuk mediasi dengan RT, Kelurahan, dan salah satu warga yang menolak. Hasilnya, pada bulan Mei 2025, warga bisa beribadah secara rutin di GSJK Tlogosari tanpa adanya penolakan.

“Kami masih berkomunikasi dengan Pak Yosef dan saya menyampaikan untuk rumah tersebut dipakai saja untuk beribadah,” ungkap Syarif menegaskan hasil dari mediasi.

Sebelumnya, pada 1 November 2023, pengurus GSJK telah mengajukan permohonan rekomendasi kepada FKUB Kota Semarang, namun permohonan tersebut belum ada perkembangan. Syarif mengakui belum mengetahui apakah pihak GSJK telah memenuhi syarat tandatangan 90 dan 60 orang warga karena tidak ada pelaporan yang masuk mengenai perkembangan GSJK Tlogosari.

“Saya belum mengetahui syarat tersebut sudah terpenuhi atau belum. Saya meminta pada Pak Yosef untuk mengabaikan warga yang menolak dan bisa melaporkan RT mana saja yang menolak untuk mengesahkan warganya yang menyetujui,” jelasnya.

Dari polemik GSJK, Direktur Lembaga Studi Sosial Agama (eLSA), Tedi Kholiludin menjelaskan, dari perspektif sosial dapat dipandang bahwa konflik minoritas dan mayoritas itu terjadi di banyak tempat. “Secara holistik, bukan perkara kelompok agama mana. Tapi dari segi sosial, tentang mana yang menjadi minoritas seperti yang terjadi pada GSJK Tlogosari,” jelasnya.

Tedi menambahkan bahwa di dalam masyarakat yang dinamis seperti Kota Semarang, konflik seharusnya dikelola dan dicegah agar tidak menjadi konflik terbuka. Semarang masih punya masalah toleransi.

“Ini sebagai micro level militansi. Di mana permasalahannya ada pada masyarakat mikro, masyarakat kecil. Sebuah tempat disebut toleran itu bukan karena tidak ada tindakan intoleransi di dalamnya. Karena, indeks kota toleran itu ada beberapa indikator. Mulai dari aturan yang menekankan toleransi, pejabat-pejabat yang mendukung toleransi, kemudian baru minimnya tindakan intoleransi. Dalam hal ini FKUB punya peran signifikan menciptakan kerukunan umat beragama,” imbuhya.

Meski jemaat kini rutin beribadah di GSJK Tlogosari, tak menutup kemungkinan penolakan akan terjadi kembali. Apalagi Sapto, warga setempat mengakui sengaja membiarkan aktivitas para jemaat beribadah di GSJK karena tidak ingin menimbulkan keributan lagi. Namun, ia menegaskan jika aktivitasnya semakin sering, tidak menutup kemungkinan akan menolak kembali.

Pendeta Yosef terus berharap semuanya polemik akan terselesaikan. “Kami terus berdoa dan masih memperjuangkan GSJK berdiri secara legal formal agar jemaat dapat beribadah lebih khusyuk dan tenang,” ucap Pendeta Yosef penuh harap.

Reporter: Rahma, Aisha, Ainiyah, Hasan, Ayu, Hanifah, Malika, Nurul, Akbar, dan Amel

Penulis: Rahma, Ayu, Hasan, dan Ainiyah

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *