Oleh: Syamsul Ma’arief
Bagi sebagian orang, komunikasi yang divisualisasikan atau komunikasi visual dinilai lebih mudah dipahami dan dapat berpengaruh terhadap pola pikirnya. Salah satu bentuk realisasinya misalnya melalui film. Melalui kekuatan gambar, film menyampaikan maksud dan pengertian kepada penontonnya baik digunakan untuk menghibur, menyampaikan informasi, mendidik, menyajikan peristiwa dan seterusnya. Sarah Gamble (2001) bahkan menyebut film memiliki kemampuan untuk melahirkan ideologi atau sistem representasi sebuah cara pandang terhadap dunia yang terlihat menjadi universal atau natural tetapi sebenarnya merupakan struktur kekuatan tertentu yang membentu masyarakat kita.
Meskipun demikian, dilain pihak ada beberapa film yang digunakan sebagai dalih menakut-nakuti dan alat propaganda. Sebelas tahun lalu, kampanye mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Albert Arnold “Al Gore” tentang bahaya dan ancaman pemanasan global lewat filmnya yang fenomenal, An Inconvenient Truth, dianggap tak lebih dari sekedar lelucon, pemikiran yang berlebihan, dan hanya bertujuan menakut-nakuti. Selain sebagai media yang tepat dalam mengeksplor pemikirannya, Al Gore juga mengaitkannya sebagai relasi isu untuk berbicara tentang kebenaran kepada pembuat kebijakan (politik), baik global, nasional, bahkan lokal. (Kompas, 28 Agustus 2017).
Di Indonesia sendiri tepatnya di penghujung September ini sedang marak pemutaran film ‘Pengkhianatan G30SPKI’ di berbagai daerah yang dinisiasi oleh salah satu aparatur negara. Seperti pada peringatanmalamsatu syuradi komplekskeraton Yogyakarta (28/9), atas komando Rayon Militer 11 keraton menggelar nontonbareng film tersebut. Kantor tentara yang terletak berdampingan dengan keratin ini kelihatannya tidak terlalu peduli meski dialog film lawas itu kalah nyari ngoleh bunyi gamelan dan tembang macapat. (Majalah Tempo Edisi 1 oktober 2017).
Film yang oleh sebagian masyarakat Indonesia dinilai telah menyediakan celah bagimasyarakat khususnya yang menonton untuk mengintip kebenaran sejarah. Banyak adegan dalam film garapan Arifin C Noer ituyang menayangkan kekejaman PKI di ruang sosial sebelum 1965, ditunjukkan melalui ilustrasi dari peragaan intimidasi terhadap kelompok agama dan kliping koran-koran menyangkut aksi sepihak petani yang berani melakukan kekerasan terhadap aparat TNI pada masa itu. Film ‘Pengkhianatan G30S PKI’ pertama kali disebarluaskan pada 1984 dan menjadi tontonan wajib masyarakat setiap tanggal 30 September. Hingga pada September 1998 Menteri Penerangan Yunus Yosfiah menghentikan pemutarannya karena film ini dianggap tidak sesuai dengan semangat reformasi.
Sejarah memang lebih sering dibungkus dalam banyak versi dan masyarakat penikmat sejarah seolah dipersilahkan untuk memilih akan percaya pada versi yang mana. Ketidakseragaman tersebut akhirnya memunculkan antitesa. Termasuk bermunculannya film-film yang digarap sebagai tandingan dari film sebelumnya. Seperti dua film garapan Joshua Open heimer yang menunjukkan adanya pertentangan kebenaran seputar sejarah Gerakan 30 September berjudul The Act of Killing (Jagal) danThe Looking of Silent (Senyap). Dengan misi pelurusan sejarah, kedua film yang diproduksinya berusaha memaparkan sejarah dari sudut pandang yang berbanding terbalik dengan film garapan versi pemerintah orde baru saat itu.
Langkah Joshua itu sebagaimana yang dilakukan oleh John Rosa melalui buku ‘Dalih Pembunuhan Massal’, dan ‘Kudeta 1 Oktober 1965’ milik Anderson. Meski tak mampu mengimbangi ketenaran dari film garapan pemerintah, setidaknya sudah ada segelintir orang yang berupaya menyajikan sejarah dalam perspektif lain. Penulis berharap masyarakat tidak melihatnya sebagai sebuah pertentangan yang membuat bingung. Sebab sejarah bukan ilmu eksak yang mutlak benar. Adanya ragam perspektif sejarah ini jadikanlah sebagai sebuah keniscayaan yang dapat membuka wawasan dan pengetahun masyarakat bahwa tidak ada kebenaran dari manusia yang bersifat mutlak termasuk kebenaran sejarah.Justruhal prinsipil dalam penelitan dan pengkajian sejarah adalah ketika mampu menghasilkan data-data baru. Nikmati saja dan petik hikmahnya.