Foto: Lpmmissi.com/ Humairoh.com |
Berdakwah merupakan suatu perbuatan yang baik karena mengajak seseorang pada hal-hal yang positif. Era digital serta kemajuan teknologi memudahkan seseorang untuk menyampaikan dakwahnya. Adanya media sosial menjadi peluang bagi siapapun untuk menjadi seorang pendakwah atau da’i. Media sosial juga memudahkan pendakwah dalam menyebarkan konten-konten dakwahnya, sebab tak perlu repot-repot mengumpulkan banyak orang dalam satu majelis.
Media sosial saat ini menjadi tempat perlombaan orang-orang dalam mendengungkan dakwahnya. Tak jarang, media sosial dipenuhi dengan komunitas ataupun organisasi dakwah untuk mempropagandakan gagasannya. Dengan segala kemudahan yang didapatkan dari media sosial, tentu menjadi tantangan bagi masyarakat tersendiri yang harus mampu menyaring kebenaran isi dakwah di media sosial.
Objek kajian dari gerakan dakwah tak luput dari bahasan tentang perempuan. Tetapi pernahkah kita berpikir, apakah ada yang menyerukan untuk perempuan berkarir dan bebas mengekspresikan dirinya? Jangan-jangan tanpa kita sadari gerakan dakwah yang mengkaji persoalan perempuan di media sosial justru menyudutkan perempuan dengan dalil-dalil yang menunjukkan kalau perempuan itu lebih baik mengurus perihal domestik saja.
Kita tahu bahwa banyak gerakan dakwah di media sosial terutama instagram membuat konten gambar yang berupa dalil-dalil dari Al-Qur’an, hadist maupun kalimat-kalimat yang diambil dari aspek keagamaan saja. Tanpa kita sadari, postingan tersebut justru menyederhanakan persoalan perempuan. Ada satu konten yang di unggah oleh akun pejuang nikah muda yang berbunyi:“Setinggi apapun pendidikan perempuan, karir terbaiknya adalah diam di rumah, bayaran termahalnya adalah ridha suami, prestasi terbesarnya adalah ketika mampu mencetak anak yang shalih dan shalilah.”
Konteks isi postingan tersebut seolah-olah menjelaskan perempuan itu diciptakan hanya untuk diam di rumah saja. Ia tidak berhak untuk berkarir dan mengekspresikan dirinya di luar rumah. Padahal untuk mencetak keturunan yang shalih dan shallilah dibutuhkan wawasan dan pengetahuan dari dunia luar, tak hanya di dalam rumah saja. Selain itu, gambaran perempuan dari postingan di atas menandakan bahwa perempuan hanyalah makhluk yang suka menunggu, menunduk tidak memiliki suara, dan selalu menyerukan bahwa tempat terbaik perempuan adalah dalam rumah. Kalis Mardiasih aktivis perempuan menilai jika ketundukan perempuan berarti laki-laki selalu superior. Padahal relasi hubungan laki-laki dan perempuan seharusnya adalah kesalingan (mubadalah) yang mempresentasikan kesetaraan dan kerja sama.
Postingan akun di atas juga hanya memandang objek perempuan dalam satu sisi sudut keagamaan saja, tanpa menggali dari perspektif lainnya. Oleh karenanya, gerakan dakwah yang mereka gunakan masih berupa metode penafsiran klasik ulama-ulama zaman dahulu. Jika kita telaah, terdapat tafsiran yang tidak sesuai dengan kemajuan zaman sekarang. Apabila dikaitkan dalam kajian gender, penafsiran Al-qur’an lebih banyak memposisikan perempuan sebagai pihak yang dirugikan. Masyarakat sendiri sering menilai bahwa kedudukan perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Hal ini pula yang mengakibatkan bias gender penafsiran dalam beberapa ayat Al-qur’an.
Pada akhir abad ke 20 bias gender dalam Al-qur’an mulai menjadi isu yang ramai diperbincangkan. Tetapi tokoh-tokoh islam masih saja mempertahankan serta tidak mau merubah sesuai dengan keadaan saat ini. Padahal hasil tafsiran ulama terdahulu belum tentu sepenuhnya benar. Sebab, konteksnya zaman dahulu dengan saat ini tentu mengalami banyak perubahan. Dengan demikian, perlu upaya penafsiran ulang agar ayat-ayat di dalam Al-qur’an memiliki makna keadilan bagi perempuan.
Amina wadud seorang intektual feminis Islam menaruh perhatian besar pada bias gender dalam tafsir Al-qur’an. Dia generasi pertama yang melakukan penafsiran ulang terhadap ayat-ayat gender dalam Al-qur’an. Dia menggunakan metode hermeneutika untuk membedah pemikiran gender dari perpektif perempuan.
Hermeneutika dipahami sebagai teori penafsiran. Dalam ilmu filsafat, hermeneutika merupakan metode filsafat yang berada dibawah payung epistemologi. Dalam perkembangan terakhir, hermeneutika muncul sebagai metode studi ilmu sosial budaya. Cara kerja hermeneutika pada umumnya adalah memahami teks dalam konteks. Dalam hermeneutika feminisme, metode intratekstual digunakan untuk mengumpulkan ayat-ayat yang membicarakan perempuan dan memahami subtansi dari ayat-ayat yang diambil. Untuk menemukan makna substansial, dilakukan penyusunan turunnya ayat tersebut.
Banyak pihak yang menolak gagasan dari Amina Wadud sebab teori yang digunakan mengacu pada teori feminisme barat dan menafsirkan Alqur’an menggunakan metode hermeneutika. Alasan mereka menolak tak lain adalah sebab hermeneutika tergolong baru dan banyak juga yang memperdebatkannya. Akan tetapi, ada sebagian ulama kontemporer yang mendukung karena kesadaran realitas saat ini, serta peduli dengan hak-hak perempuan.
Jika masih mempertahankan metode klasik, perempuan lebih banyak menjalankan kewajibannya dibandingkan dengan hak-haknya. Karena penafsiran klasik banyak dilakukan oleh pengalaman dan perspektif laki-laki. Sedangkan pengalaman serta perspektif perempuan diabaikan. Hal inilah yang mempengaruhi posisi perempuan dalam tafsir klasik tersebut.
Baca Juga: Sayidah Aisyah Tak Sekadar Lagu “Aisyah Istri Rasulullah”
Sudah bukan zamannya lagi membicarakan persoalan perempuan tentang auratnya serta ketundukkannya. Yang perlu dibicarakan adalah peran serta pengetahuan yang luas bagi perempuan agar perempuam berani mengubah tatanan dunia. Sebab prempuan juga mampu menjadi pemimpin serta menghiasi ranah publik.
Maka dari itu dakwah tak hanya soal kebenaran, tetapi juga soal etika dan mampu merasakan perasaan orang lain. Jika objek dakwah masih saja mengkaji perempuan mengenai persoalan ranah domestik, maka seseorang tersebut tentu mengkhianati perjuangan Raden Adjeng Kartini, Sayyidah Aisyah dan tokoh perempuan lainnya. Seharusnya mereka memotivasi agar perempuan mempunyai pandangan yang luas serta memiliki cita-cita yang luhur bagi dirinya, keluarga dan bangsanya sendiri.
Oleh: Fitroh Nurikhsan