Dikala suluh jiwanya berkobar, semua asa yang menggunung pun terpapar, lalu ia buka gerbang itu melebar, hingga ia dapat sirnakan semua pagar. Begitulah seakan semangat juang Radika saat memimpin pasukan perangnya kala itu. Ia seakan tak memperdulikan kegagahan dan kelengkapan senjata para tentara Jepang. Radika yang bertubuh kecil itu seakan tak memiliki rasa takut sedikit pun dalam hatinya. Bahkan ia siap memimpin pasukannya yaitu pasukan Hisbullah (lascar perang untuk NKRI dari Jombang, Jawa Timur).
Pagi itu tepat pukul 01.30 WIB. Sang pelopor perang itu segera membangunkan para pasukannya yang tengah tertidur dalam tenda disebuah hutan pinus. Dengan semangat juang demi kemerdekaan seakan menghilangkan rasa kantuk bahkan lelah mereka ditengah malam itu. Setelah mereka para pasukan Hisbullah telah bangun, mereka pun segera berkumpul didalam tenda inti dan empat orang tak berbaju hanya berpakaikan celana hitam dengan berikatkan kain merah putih dikepalanya itu ditugaskan untuk menjaga dan mengawasi tenda mereka, sehingga rapat pada malam itu berlangsung cepat dan lancar. Mereka merapatkan strategi perang yang tepat untuk mereka gunakan melawan dan mengusir para penjajah dari Jepang itu, dan demi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secepatnya.
Dengan segala keterbatasan senjata untuk melawan para penjajah Jepang yang sangat lengkap persenjataanya itu mereka pasukan Hisbullah mencoba menyusun rencana yang matang. Dalam kebingungan diskusi memutuskan strategi perang yang tepat, tiba-tiba salah seorang anggota pasukan Hisbullah, bernama Sardi mengacungkan jarinya keatas, seolah member symbol bahwa ia memiliki ide yang tepat.
“Mengingat senjata kita hanya berupa bambu runcing, dan beberapa pistol hasil mencuri dari tentara Jepang itu, bagaimana kalau kita perangi mereka dengan perang gerilya.?” usul Sardi sembari menundukkan kepalanya. “Perang Gerilya.? Perang yang seperti apakah yang kau maksud Sar.?, Tanya Radika sang pemimpin pasukan Hisbullah kepada Sardi. “Perang Gerilya adalah strategi perang yang telah diterapkan para pejuang pendahulu kita ketika melawan penjajah Belanda, mereka melakukan perang, atau melawan penjajah saat penjajah tengah beristirahat, utamanya ditengah malam seperti sekarang ini, para pejuang pendahulu kita, dulu menyerang dengan diam-diam dan dengan gerak yang sangat cepat, kita bisa buat jebakan dijalan utama di hutan ini yang biasa para pasukan Jepang lewati itu, kemudian mereka akan sibuk membereskan jebakan kita , sehingga dengan mudah, InsyaAllah kita dapat menyerang mereka dengan cepat dan tanpa mereka sangka.” Jelas Sardi kepada semua yang hadir dalam rapat tengah malam itu.
Seakan ide yang sangat tepat, para pasukan yang mengikuti rapat itupun langsung menyetujui ide Sardi itu.Sardi adalah salah satu anggota pasukan Hisbullah yang paling pendiam, dia memang tidak suka berbicara, bahkan ia awalnya takut untuk ikut perangmelawan dan mengusir penjajah Jepang. Teringat akan kakeknya sang pejuang melawan penjajah Belanda, kemudian ayah, ibu bahkan ketiga adik laki-lakinya yang menjadi korban penjajahan kala itu. Seakan dendam karena ia kini harus hidup sebatang kara dan tinggal di pesantren Hisbullah itulah yang membuatnya geram ingin segera mengusir penjajah Jepang yang tengah berkuasa di negeri tercintanya ini. Luka sayatan pedang dilengan atasnya dan masih berdarah itupun seolah tidak ia perdulikan.
Setelah sekitar satu jam setengah mereka bermusyawarah, mereka pun segera melakukan persiapan untuk segera perang Gerilya melawan Jepang. Lima orang bertugas menyiapkan alat perang seprti bambung runcing dan lain-lain. Hampir seperempat malam, mereka segera memasang jebakan yaitu dengan menebangi pohon-pohon disekitar jalan utama untuk menghalangi yang biasa para tentara Jepang lewati. Kemudian sebagian pasukan lainya bertugas menyerang dimarkas tentara Jepang yang masih tertidur pulas bahkan termasuk berniat membunuh Khisaki sang pemimpin pasukan perang Jepang kala itu. Seakan malam yang sangat baik, strategi perang yang direncanakan berjalan sesuai apa yang diharapkan bahkan tujuan utama untuk membunuh Khisaki itupun juga berhasil.Markas pasukan Jepang yang ada di Jombang sekitar pesantren Hisbullah itupun berhasil diambil alih.
Setelah suasana tenang lagi, keesokkan harinya tiba-tiba Kyai pengasuh pondok pesantren Hisbullah tengah sakit parah setelah kemarin sempat ditembak pasukan Jepang dibagian dada kanannya, serempak para pasukan Hisbullah kembali kepondok pesantren untuk menengok Kyai mereka yang bahkan sekarat. Sontak hisak tangis pun pecah setelah ternyata sang Kyai telah meninggal dunia ditengah hampir berhasilnya pasukan Hisbullah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kyai Mahalli memang telah tiada, namun itu seakan menambah semangat juang para pasuka Hisbullah untuk segera mengusir para penjajah Jepang dan meraih kemerdekaan. Kyai Mahalli sebelum beliau wafat sempat berpesan kepada putra sulungnya Azka untuk menikahkan adiknya yaitu Sarah dengan Sardi. Seakan tidak percaya atas wasiat dari sang Kyai nya itu, Sardi pun hanya diam disebuah kursi tua di ruang tamu rumah Kyai itu. Ya, Sardi adalah sosok yang pendiam, tidak banyak tingkah namun menurut penuturan Kyai nya yang disampaikan lewat Azka putra sulungnya itu, Kyai tahu bahwa Sardi memiliki jiwa pemimpin yang arif dan bijaksana, memiliki tingkat ketaqwaan Iman yang sangat baik sehingga tak heran apabila Beliau menginginkan putrinya Sarah untuk mau menikah dengan Sardi , walaupun dengan keterbatasan Sardi yang yatim piatu, bahkan sebatang kara itu.
Sardi pun tidak bisa menolak wasiat dari Kyainya itu. Langsung keesokan harinya itu pula ia menikah dengan putri Kyainya. Sardi pun dipercaya keluarga Kyai nya untuk memimpin pondok pesantren itu. Ditengah semangatnya yang begitu membara untuk berjuang demi kemerdekaan negerinya ia malah diberi tanggung jawab yang sangat berat itu. Bahkan disisi lain Radika sang pemimpin pasukan Hisbullah itupun telah gugur dimedan perang. Sardi terus-terusan meminta pendapat para Kyai lain dan keluarga Kyai Mahalli almarhum, disisi lain ia tidak bisa meninggalkan kewajibannya menjadi pengasuh pondok, namun disisi lain ia sangat ingin berjuang untuk negerinya. Hingga suatu malam ia bersama isterinya sholat malam bersama dan meminta petunjuk pada yang Maha Memberi Petunjuk. Hingga keesokan harinya ia memutuskan untuk tetap melanjutkan jihadnya namun ia memilih jihad (perang) melalui amalan ilmunya, ia memilih tetap mengasuh pondok sebagaimana yang diwasiatkan Kyainya. Sementara mengenai pasukan perang Hisbullah ia meminta bantuan kakak iparnya yaitu Azka untuk menggantikan Radika yang telah gugur untuk memimpin perjuangan pasukan Hisbullah.
Satu bulan kemudian yaitu tepat tanggal 17 Agustus 1945 ia dan seluruh warga Indonesia mendengar Proklamasi kemerdekaan yang bacakan oleh Ir. Soekarno, dan menjadi tanda bahwa bangsa Indonesia telah merdeka. (Sobah)