foto:lpmmissi.com/repro Oleh: Korie Khoriah Cerpen |
Lapangan ini ramai sekali. Sepertinya aku harus sabar untuk berdiri beberapa lama. Mungkin dua, tiga, empat, bahkan lima jam ke depan. Beberapa puluh meter persis di hadapanku, ada segerombolan sosok berbusana putih-putih. Sayang, wajah mereka kabur, atau penglihatan mataku yang sedang bermasalah. Ah, rasanya tidak. Buktinya, aku masih bisa melihat dengan jelas perempuan-perempuan cantik di sebelahku.
Hampir lima jam kurang lima menit. Aneh, dari mana aku bisa mengetahui waktu secara persis. Tidak ada jam melingkar di lenganku. Jangankan jam, berdiri di sini saja aku hanya berbalut kain putih. Namun, meskipun begitu aku merasa tampan. Lihat! Sekujur tubuhku memancarkan cahaya. Kesabaranku sepertinya akan segera terbayar. Aku sudah berdiri di urutan ke dua. Sekali lagi, aneh. Telingaku tidak bisa mendengar perbincangan antara orang di depanku dengan segerombolan pemakai busana putih-putih tadi.
“Adam!”
Namaku dipanggil. Dengan penuh percaya diri aku melangkah, semakin mendekati mereka pemakai busana putih-putih dengan wajah yang kabur. Tanpa banyak bicara, seketika aku disuguhkan sebuah tayangan.
***
Sekarang, aku sudah dimutasi. Katanya, aku sudah diletakkan di tempat yang paling aman. Cukup dengan menunggu selama lima bulan. Aku akan bertemu seorang pahlawan. Dia bernama IBU.
Gelap. Aku pun kehilangan bentuk. Aku bisa merasakan keberadaanku, tetapi tidak dengan ragaku. Sesekali, aku merasakan seperti di ombang-ambing. Aku bisa mendengar teriakan-teriakan dari alam lain. Ruangan tempat aku bersemayam sempat dipenuhi cairan-cairan yang membuat aku ingin muntah.
“Tempat aman macam apa ini!” Aku menghardik.
Sudah seminggu aku berada dalam ruangan gelap ini. Aku mulai menemukan bentuk. Aku semakin mengeras dan tegar. Tetapi, tak selang lama, ruangan ini kembali goyah. Aku merasa terbanting kesana kemari. Persis dua jam setelahnya, aku terbang kembali. Aku keluar dari ruang gelap itu. Pada ketinggian sekitar sepuluh meter. Aku menyaksikan dua sosok perempuan. Salah satunya sedang keletihan dan terbaring di tempat tidur, tubuhnya berkeringat. Dari bagian perut sampai kaki berlumuran darah.
“Kasihan sekali.” Batinku.
Masih ada satu perempuan lagi. Sepertinya dia sudah berumur. Rambutnya putih, tubuhnya sedikit bungkuk. Dia kelihatan sedang sibuk membungkus gumpalan-gumpalan daging dengan kain putih. Dadaku mendadak sakit, aku perhatikan wanita tua itu, dia terus mengikat kain putih sekencang mungkin. Semakin kuat ikatan itu, semakin sakit rasanya. Aku tidak mengerti apa yang terjadi sebenarnya. Apa hubunganku dengan ikatan kain putih itu?
“Mana pahlawan bernama IBU itu? Aku butuh pertolongan.” Seketika aku teringat janji pemakai busana putih-putih. Tapi, hingga aku hampir kehilangan daya untuk bernafas, pahlawan ibu belum juga menampakkan wujudnya. Dalam kondisi kepayahan, samar-samar aku masih bisa mendengar percakapan antara dua perempuan di bawah sana.
“ Mau dikubur di mana jabang bayimu, Lastri?” Tanya perempuan tua sambil memasukkan bungkusan kain putih ke dalam kardus. Ternyata perempuan muda itu bernama Lastri.
“ Tinggal pilih. Sungai, selokan, atau tempat sampah? Gampang kan?” Jawab Lastri.
“ Kau ini, belum juga kapok. Ini sudah yang ke dua, ingat?” Dengan nada sedikit geram, perempuan tua merapikan kardus dengan memberi ikatan tali rapia.
“ Bukan urusanmu, Nyi.” Lastri tertawa acuh.
Brak! Tanpa menjawab, perempuan tua membanting kardus yang sudah ia siapkan sebelumnya. Matanya sedikit melotot, kedua tangannya terkepal seperti mengenggam amarah. Perempuan tua mendekati Lastri yang sedang memejamkan matanya. Lalu ia menarik kerah baju Lastri sangat kuat hingga Lastri kaget dan terbangun.
“Apa-apaan Kau, Nyi? Tanya Lastri sambil berusaha melepaskan tangan perempuan tua.
“ Pekerjaanku memang hina, tapi perasaanku tak sehina Kau, ibu biadab!” Api kemarahan semakin membakar jiwa perempuan tua itu.
Sebentar. Ibu? Perempuan tua menyebut Lastri sebagai ibu? Apa itu artinya Lastri adalah pahlawan yang sering disebut pemakai busana putih-putih? Kenapa dia tak menyapaku sama sekali.
Terlalu lama berpikir membuatku hampir melupakan dada yang sakit dan kejadian dalam ruangan itu. Saat ini perempuan tua sedang berusaha mencekik leher Lastri. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Lastri bisa mati. Lalu siapa yang akan menjadi pahlawan yang menolongku di alam asing ini. Aku berusaha mendekati mereka, tapi percuma saja, tak ada yang menyadari kehadiranku di sana.
Aku sempat melihat Lastri mengerang kesakitan, matanya membelalak menahan cekikan dari perempuan tua. Sangat mengerikan. Tak ada yang bisa aku perbuat hingga akhirnya Lastri tak berdaya, menutup matanya dan perempuan tua melepaskan kedua tangannya, tubuhnya gemetar sambil kedua matanya tak luput memandangi jasad Lastri yang baru ia habisi. Lastri dibunuh!
Ruangan sempit berdinding bilik itu kini terpendar oleh cahaya. Tetap dari ketinggian yang sama, aku melihat ada roh yang keluar dari tubuh Lastri. Aku sempat terperanjat kaget, wajah Lastri dipenuhi borok bernanah dan mengeluarkan bau tak sedap. Ia memandangi aku, matanya nanar. Seperti menyimpan banyak luka.
“Anakku.” Dengan suara lemah, Lastri semakin mendekati aku. Aku pun menjauhinya karena tak tahan dengan aroma yang berasal dari luka di sekujur tubuh Lastri.
“Kamu pantas membenciku, Nak.” Lastri menangis tersedu. Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi.
“Aku Lastri, ibumu.” Lastri semakin mendekatiku.
“Bohong, ibuku seorang pahlawan. Dia akan datang menolongku untuk hidup di alam bernama dunia.” Aku meragukan pernyataannya. Meski sejujurnya ada yang bergetar dalam dadaku ketika Lastri berbicara dan mendekat padaku.
“Maaf, aku telah merampas kesempatanmu untuk mengecap indahnya dunia. Waktuku tak banyak, ampuni aku atas keegoisanku, Nak.” Dengan susah payah, Lastri sempat berhasil memelukku dan meneteskan air mata penyesalan, aku pun tak bisa mengelak sebelum akhirnya ia dibawa pergi paksa oleh dua sosok bertudung hitam.