Menjadi mahasiswa kupu-kupu adalah sebuah prinsip hidup yang dipegang teguh oleh beberapa mahasiswa, takut barangkali kuliahnya terbengkalai ketika mengikuti kegiatan diluar akademik (Baca: Kegiatan organisasi, UKM dll). Khawatir tugasnya tak rampung, banyak kerjaan, dan tidak bisa tidur siang. Pemikiran yang ideal untuk orang yang baru merasakan jauh dari orang tua.
Fokus untuk belajar di kelas mendengarkan dosen berceramah, pergi ke perpustakaan, dan main gadget saat waktu luang adalah hal paling membosankan selama dua semester terakhir. Banyak waktu terbuang sia-sia. Menangkap materi kuliah hanya setengah, membaca buku perpustakaan apalagi. Semacam membutuhkan penyegaran untuk beberapa rutinitas terakhir.
Ingin cepat lulus, tapi waktu belum bersahabat. Baru juga semester muda, pikirannya sudah mengudara jauh terbang keangkasa. Problematikanya adalah, kadang kita terlalu takut melawan diri sendiri, keluar dari zona nyaman, mengembara, meniti jalan-jalan kecil yang ada. Untuk lulus menjadi sebuah tanggungjawab tersendiri, karena terjun dimasyarakat tak hanya butuh teori, tapi butuh praktik nyata.
Seperti puisi Najwa Shihab yang tersebar berantai di media daring, bahwa menjadi mahasiswa tidak boleh menjadi tembok penghalang dengan masyarakat, begitulah kira-kira kalimatnya. Mahasiswa yang diharapkan bisa memberi perubahan terhadap perkembangan hidup rakyat Indonesia, bagaimana jadinya bila mereka justru membatasi diri untuk bergaul dengan masyarakat? mengurung diri, dan lebih berteman akrab bersama gadget mereka?
Beberapa hari otakku sakit, terserang beberapa pertanyaan yang membikin hati tak karuan, setelah sudah siapkah menjadi kakak? Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah sudah dapat Apa sampai hari ini? Sudah siapkah terjun di masyarakat? Menjawab pertanyaan-pertanyaan pelik mengenai agama, aqidah, serta memberi jawaban dengan bahasa mereka? Pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang Puan bertopi, beberapa hari terlihat berkeliaran disudut jalan kota Ngaliyan.
Tentang kebodohan-kebodohan di masalalu yang membuat diri sedikit tertinggal dari kawan yang sepadan. Akhirnya melongo, kosong, bodong. Tidak ada jawaban terhadap pertanyaan yang semakin lama semakin mendekati dan menuntut untuk dijawab. Di waktu demikian, sejujurnya yang masih terpikirkan masihlah gaya-gayaan, baju tren bulan ini, dan lipstik diskon yang bisa dibeli. Sungguh sebuah persepsi yang keliru.
Tapi yang terjadi adalah demikian, kebanyakan dari kami masih mementingkan gaya daripada isi kepala. Yang terpenting kuliah dengan baju menarik, bukan dengan isi otak yang penuh dengan pemikiran kritis. Lalu bagaimana cara memperbaiki tatanan yang sudah melekat pada otak mahasiswa ini, Puan?
Datang ke kampus menyiapkan bedak dan lisptik tebal, barangkali di jalan bertemu jodoh sedang materi kuliah yang hendak dipresentasikan tak tersentuh sama sekali. Ya, Puan lalu bagaimana lagi menyembuhkan ini ?
Sebuah ironi dan tragedi mengenai mahasiswa generasi milenial yang pemikirannya kadang tak terasah menjadi generasi perubahan akibat maen gadget melulu. Bagaimana kehidupan bangsa dan negara kedepan saat berada dipundak kami, Puan?
Puan, Puan, Puan…
Sebelum sempat tertanyakan, Ia sudah kembali menghilang bersama malam yang segera datang terlihat dari ujung jalan.
Penulis : Hijriyati Nur Afni