SEMARANG,LPMMISSI.COM-Bagi pembaca-kaum rebahan tentu tak asing dengan konten influencer ngiklan di medsos tentang “Jualan Kelas”. Jualan kelas yang dimaksud disini adalah seseorang atau kelompok tertentu yang “menjajakan” bermacam “toping” yang bisa kita pilih sesuai dengan keinginan kita. Toping disini merupakan skill atau kemampuan yang ingin kita pelajari dari seseorang yang menawarkan kelas tersebut.
Selayaknya kegiatan jual-beli pada umumnya, ada harga ada kualitas. Maka jualan kelas juga menghendaki penjual menawarkan jasa yang sepadan dengan output yang dihasilkan. Fenomena jualan kelas mungkin bukan barang baru lagi di Indonesia. Sebut saja bimbel online seperti Ruang Guru, yang menawarkan pembelajaran interaktif sekaligus menyenangkan. Dengan satu aplikasi, pengguna bisa dengan mudah memilih pelajaran mana yang akan ia ambil dengan pengajar yang berkompeten di bidangnya.
Teknisnya beragam, namun biasanya antara “penjual” dan “pembeli” kelas akan menyepakati satu waktu untuk mengadakan pembelajaran, baik secara luring ataupun daring. Para penjual kelas ini umumnya adalah praktisi atau kelompok yang berpengalaman di bidangnya. Terlebih dengan adanya medsos, mereka (penjual) lebih mudah dalam menjangkau pasar sekaligus membangun citra komoditasnya.
Dan hari ini, jualan kelas tidak hanya menawarkan komoditas berupa mata pelajaran sekolah saja, kini toping yang ditawarkan lebih bervariasi. Toping suka-suka, kita bisa ikut suatu kelas sesuai dengan “toping kesukaan” kita, bukan dengan toping yang dipaksakan padahal kita tidak suka. Sebagai contoh kini marak adanya kelas konten kreator, kelas crypto , kelas digital marketing , kelas public speaking , dan kelas-kelas lainnya.
Dari sekian banyaknya kelas yang pernah kita lihat, ada kesamaan yang rupanya menjadi alasan mengapa orang-orang beli (ikut) kelas. Adalah nilai kebaruan pengalaman di dalamnya, sedangkan sekolah-sekolah formal tidak selalu mengajarkan hal tersebut.
Apa yang Kita Peroleh dari Ikut Kelas?
Berbicara masalah pendidikan di Indonesia sama halnya seperti membahas anggaran belanjanya. Sama-sama besar. Satu hal yang pasti, agaknya ikut kelas lebih “merdeka” ketimbang ngikut Kurikulum Merdeka. Kita lebih merdeka dalam menentukan apa yang hendak kita pelajari, kita lebih merdeka dalam menentukan siapa (pihak) yang jadi guru kita, dan yang terpenting tidak ada paksaan-kita yang tentukan.
Baca juga: (Andaikan) Sebelum 20 Oktober
Satu sesi kelas biasanya diisi oleh segelintir orang saja, hal ini memungkinkan pemberi kelas memberikan fokus perhatian lebih sehingga pembelajaran lebih maksimal. Selain itu, pembelajaran kelas biasanya lebih menghendaki perpaduan teori dan praktik, jadi tak sebatas mendengar dan mengingat, melainkan juga cara mengaplikasikannya.
Sama halnya dengan komunitas, program kelas juga diisi oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan minat dan kecenderungan. Kesamaan tersebut selain memudahkan dalam berbagi pengetahuan juga bisa meluaskan jejaring, sehingga masing-masing individu mampu beroleh sudut pandang baru.
Fenomena Jualan kelas, Apakah Bukti Gagalnya Pendidikan di Indonesia?
Lantas, dengan segala kelebihan yang diberikan, apakah dengan ikut kelas bisa jadi alternatif pendidikan formal? Tergantung kebutuhan setiap individu. Walaupun dengan ikut kelas kita bisa custom toping sesuka hati, bukan berarti menu yang diberikan oleh pendidikan formal selalu tidak disukai. Selama kita tidak mempermasalahkan pembelajaran pada pendidikan formal, dan merasa cukup dengan menu yang sudah ada, maka ikut kelas dihukumi sebagai pelengkap saja.
Baca juga:Pondok Pesantren Apik Tawarkan Minuman Olahan dari Pakcoy dalam Expo Kemandirian Pesantren 2024
Menyalahkan pemerintah sepenuhnya juga bukanlah solusi, mengingat kebutuhan pemerintah yang kadangkala bertolak belakang dengan masyarakat. Fenomena jualan kelas ini agaknya bisa disiasati oleh pemerintah agar bisa menyesuaikan pembelajaran yang relevan, dengan mempertimbangkan kualitas pendidikan yang sesuai kebutuhan masyarakat. Pembelajaran memang tidak selalu tentang “dalam kelas” dan “ikut kelas”, sebab esensi dari pendidikan adalah menjadi manusia yang bijak.
Maka sebuah perubahan tak harus (menunggu) secara langsung dari pemerintah, perubahan pun bisa dimulai dari hal-hal kecil. Sesederhana menyediakan ruang baca di sebuah warung kopi, membuat perpustakaan keliling, mengikuti program volunteer mengajar di daerah 3T, ataupun turut hadir dalam diskusi publik, merupakan upaya belajar alternatif tanpa embel-embel komersil.
Sebagaimana Kurikulum Merdeka, ikut kelas tak lantas mengubah nasib seseorang. Sebab keduanya hanya sebatas media belajar, sisanya bagaimana kita mengaplikasikannya di kehidupan nyata.
Tonton juga Salahkah Jualan Kelas?
Penulis: Haqqi Idral