Sejak 2016 lalu politisasi agama salalu menjadi jurus para politikus, karena agama dirasa mampu menggiring opini publik untuk menjatuhkan lawan politiknya. Pemilihan calon gubernur DKI Jakarta menjadi pintu pembuka kontestasi politik Indonesia bergaya politisasi agama, efeknya pun masih terasa hingga sekarang.
73 tahun silam, Moh. Hatta tidak setuju dengan sila pertama yang awalnya berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya” dirasa terlalu mendiskriminasi agama lain, sehigga beliau mengusulkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan diterima semua tokoh agama yang hadir pada sidang BPUPKI 18 Agustus 1945.
Sikap Moh.Hatta di atas memberikan contoh, bahwa antara agama dan politik memiliki simbiosis mutualisme, agama memberikan pengesahan teologis dan politik memberikan keamanan. Karena itu, agama seharusnya dijadikan penetralisasi segala permasalahan, bukan dijadikan umpan untuk membuat masalah.
Menurut pengamat politik dan islam, Yudi Latief, motivasi berpolitik berdasarkan keagamaan merupakan sesuatu yang absah. Namun, adanya politisasi agama menjadi suatu kekeliruan, sehingga nilai spiritual keagamaan menghilang. agama tidak lagi menyentuh substansinya sebagai nilai moral, ketuhanan dan kemanusiaan.
Baca juga: Kuasa Politik Feodal di Kampus Kita
Praktik ini menjadikan agama sebagai kedok kebobrokan moral politisi sekarang. seperti Irvan Rivano Bupati Cianjur, yang terjerat kasus suap dana alokasi khusus, terkait dana pendidikan.
Ia yang awalnya memiliki program salat subuh berjamaah dan usai dua tahun menjabat masjid yang biasa di gunakan untuk salat subuh berjamaah berubah menjadi tempat transaksi penyerahan uang korupsi. Miris sekali, agama seperti tidak memiliki nilai sakralitas, sehingga dengan semene-mena dipermainkan.
Berpenampilan seperti layaknya ustaz, mendekati tokoh ulama seolah-olah menampakan kedekatan, yang ujung-ujungnya hanya digunakan untuk pencitraan. akhirnya muncul asumsi dari para politikus, jika tidak ingin kalah, maka bercitralah dengan bersikap dan bertindak religius.
Saat pemilihan calon wakil presiden pihak petahana memilih KH. Ma’ruf Amin mantan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pihak oposisi memilih Sandiaga Uno yang kemudian diketahui namanya memiliki imbuhan Salahuddin. sehingga namanya menjadi sandiaga Salahuddin Uno. Keduanya tidak kalah islami bukan?
Baca juga: Transformasi Nilai dan Norma yang Gagal
Aksi 212 yang di awali dengan tuduhan penistaan agama oleh Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), sehingga goal dari politisasi agama dengan menjatuhkan salah satu lawan. ketika dirasa efektif, hal ini dilanjutkan, kemudian muncul aksi reuni 212 menjelang pemilu 2019.
Masyarakat awam yang tidak melek media dan membudayakan shareble tanpa kroscek terlebih dahulu, sangat rentan ikut andil dalam penyebaran isu agama yang disalahgunakan. Tanpa perintah, masyarakat memobilisasi diri sendiri untuk menunjukan keislamannya dengan mempublikasi.
Seorang pemimpin politik yang mejadi contoh bagi masyarakat, seharusnya mampu menampilkan citra baik. Bukan hanya pencitraan luar saja, tetapi juga mental. Jika dalam praktiknya elit politik masih menjadikan agama sebagai topeng, maka asumsi generasi milenial yang terlanjur menganggap politik adalah permainan kotor pantas dibenarkan. karena di dalamnya hanya berisi persaingan perebutan kursi, kemudian berujung pada korupsi.
Menyikapi hal ini, kita sebagai generasi milenial harus mampu membentengi diri dari bahaya politisasi agama. Pertama, dengan sering membaca berita-berita akurat yang mampu memberikan wawasan lebih tentang isu yang beredar. Sehingga, saat kita mendapat informasi yang sedang trendi, kita tidak serta merta memakan umpan tersebut.
Baca juga: Mencela Manusia Sama Saja Menghina Penciptanya
Kedua, sebagai generasi yang hidup dalam kecanggihan internet, kita harus membiasakan diri kroscek setiap informasi. Terlebih informasi yang disebarluaskan melalui media sosial, karena tingkat keakuratannya masih dirasa kurang. Generasi milenial terbukti lebih lama berselancar dalam dunia maya, maka tidak heran jika para pelaku politisasi agama memanfaatkan medan tersebut untuk menyebarkan umpannya.
Terakhir, diskusikan setiap isu yang beredar dengan teman sejawat. Sehingga saat menyimpulkan sesuatu, kita tidak hanya bermodalkan asumsi pribadi, tetapi juga hasil pemikiran orang lain. Dengan berdiskusi, kita terhindar dari asumsi yang keliru. Selain itu, kita belajar menelan isu secara matang, tidak mentah-mentah. Output yang dihasilkanpun nantinya tentu lebih sehat.
Barangkali saja orang akan mengingat tulisanku ini: “Akan ada permainan politik oleh orang-orang kriminal dan permainan kriminal oleh orang-orang politik” (Pramoedya Ananta Toer)
Penulis: Isbalna