Era keterbukaan informasi semakin berkembang, pengguna media baru (internet) kini bisa dengan bebas mengeksplorasi diri. Segala hal disajikan di jagat maya, baik urusan dunia maupun akhirat. Ratusan konten keagamaan tersebar luas melalui channel YouTube, media sosial dan situs web. Kemudahan akses informasi yang dibutuhkan, memanjakan pengguna mengakses internet dengan bebas, sehingga belajar ilmu agama menjadi lebih mudah, di mana saja dan kapan saja.
Terbukanya kran informasi tersebut merupakan dampak dari perkembangan teknologi. Salah satu dampak positif yang terjadi yakni mudahnya berbagi informasi dengan efisien dan efektif. Namun di sisi lain, dampak negatif juga turut andil, sebagai contoh berkurangnya interaksi langsung antarmanusia. Selain itu sikap individualis akan bertambah, dan sikap sosialis perlahan menurun.
Dari data yang dihimpun Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII), sebanyak 43,89% masyarakat Indonesia menghabiskan 1-3 jam sehari dalam menggunakan internet, 29,63% 4-7 jam sehari dan 26,48% lebih dari 7 jam sehari. Pada tahun 2017, 143 juta dari 262 juta masyarakat Indonesia aktif menggunakan internet. Jumlah itu kian meningkat dengan di produksinya smartphone berspesifikasi tinggi dengan harga terjangkau.
Baca juga: Pilpres 2019, Nalar Machiavelli Hingga Post Truth
Pada 2014, Indonesia menduduki peringkat keenam sebagai negara dengan penggunaan internet terbesar di dunia. Para user (pengguna) internet tidak terpaku pada pencarian informasi saja, namun mulai digunakan untuk bertransaksi, hingga pemesanan jasa online. Terlebih dengan adanya aplikasi yang membuat pekerjaan sehari-hari lebih ringan dan praktis, media online manjadi pilihan utama masayarakat.
Internet seperti menjadi kitab suci baru bagi penggunanya, sehingga apa yang ditampilkan oleh media lebih dipercaya masyarakat. Bahkan untuk sekedar mencari nama, ibu-ibu lebih memilih google sebagai tempat mencari referensi. Maka tidak heran jika kemudian muncul istilah tontonan menjadi tuntunan dan tuntunan menjadi tontonan.
Adanya media sosial juga menjadi salah satu faktor populernya internet. Para pemuka agama memanfaatkan keadaan ini untuk berdakwah. Mereka membuat akun-akun dakwah melalu facebook, twitter, instagram, YouTube dan lain-lain. Dengan konten dakwah yang kekinian, dakwah mereka di daring selalu ditunggu setiap saat. Dengan manajemen yang baik dan konten menarik, dakwah di internet berhasil menggeser dakwah face to face.
Media berhasil mengambil alih berbagai peran nyata. Dalam hal kajian islam misalnya, kalangan anak muda lebih tertarik dengan kajian melalui media sosial, khususnya instagram. Durasi kajian yang relatif singkat, yakni satu menit per postingan, dianggap lebih mudah dikutip dan diserap. Seperti akun shift milik Ustaz Hanan Attaki yang menyajikan kutipan-kutipan dakwah kekinian.
Pemanfaatan media seperti ini menjadi bukti bahwa para dai mampu beradaptasi dengan zaman. Namun hal ini juga memberikan efek negatif pada mad’u (pendengar), seperti malas untuk menghadiri pengajian secara langsung, karena dianggap ketinggalan zaman, tidak kekinian serta menguras waktu. Karena kajian di internet bisa dinikmati kapanpun dan di manapun.
Baca juga: Agama dan Topeng Politik
Padahal jika kita amati, feedback dari pengajian face to face dan kajian melalui daring jelas berbeda. Dalam pengajian bertatap muka langsung, mad’u tentu lebih intens dalam mengkaji suatu hal dan materi dakwah yang disampaikan akan utuh. Berbeda dengan pengajian yang ada di internet, materi yang disampaikan hanya sebagian, distorsi isi kajian jelas rawan terjadi. Mad’u akan berasumsi sendiri dari apa yang mereka lihat di media.
Meski terdapat beberapa fitur agar user bisa berinteraksi dengan admin seperti kolom komentar, hal ini kurang maksimal jika dijadikan acuan feedback. Maka tidak jarang komentar di daring justru sering menjadi bahan debat kusir bahkan berujung pembulyan dengan kata-kata kasar. Respons dari admin tidak selalu tepat waktu, karena belum tentu setiap detik mereka terhubung ke jaringan internet. Sehingga pertanyaan, komentar atau hal yang masih dirasa ambigu tidak direspon dengan semestinya.
Berbeda dengan pengajian face to face, segala hal yang masih membingungkan bisa ditanyakan langsung kepada dai. Cara seperti ini bisa diterapkan untuk menilai kualitas dari dai, apa dia benar-benar memahami materi dakwah atau tidak. Karena saat pertanyaan disampaikan, saat itu juga dia harus menjawab. Jika di media, admin bisa saja searching terlebih dahulu untuk menjawab pertanyaan atau materi yang disampaikan.
Jika “ngaji” di daring terus dibudayakan, pengajian islam secara face to face akan tergantikan dan hilang. Tempat-tempat mencari ilmu agama seperti pondok pesantren perlahan tidak diminati, karena asumsi masyarakat akan berubah bahwa semua materi ajaran agama bisa di dapatkan melalui internet. Bisa dikaji secara otodidak dengan efisiensi waktu yang mereka tentukan.
Peran dai harus diperkuat dengan pemanfaatan media, karena siapa yang tidak menguasai media, ia akan di pandang sebelah mata sebagai dai ketinggalan zaman. Dari segi materi kajianpun akan berpengaruh, jika yang disampaikan perihal kematian, ikhlas, dan tentang kesabaran, nampaknya hanya orang-orang tua yang menikmati. Karena tema tentang pernikahan menjadi urutan pertama kajian yang diminati generasi milenial.
Baca juga: Kuasa Politik Feodal di Kampus Kita
Metode dakwah mau tidak mau harus mengikuti perkembangan zaman. Baik dari retorika maupun konten dakwah, perlu adanya upgrading agar dakwah tidak dipandang kolot. Hal ini semata untuk memancing minat generasi milenial agar betah mendengarkan kajian. Dengan catatan para dai tetap mengedepankan nilai-nilai islami dalam berdakwah.
Sebagai penikmat media, kita juga harus selektif saat menikmati kajian melalui internet. Karena tidak sedikit konten kajian yang perlahan menjauhkan kita dari prinsip Bhineka Tunggal Ika. Selain itu memandang sebelah mata pengajian face to face juga tidak baik, karena sebaik-baiknya belajar adalah dengan guru. Gunakan media secukupnya dan seperlunya, terlebih untuk mengkaji perihal agama, agar agama tidak tergantikan perannya oleh media.
Penulis: Isbalna