Foto: Lpmmissi.com/ Granline97.blogspot.com. |
Masa-masa ujian seleksi masuk perguruan tinggi negeri merupakan sebuah momentum besar bagi calon mahasiswa. Mereka harus menyiapkan biaya yang bisa jadi setara untuk makan keluarga selama beberapa bulan. Apalagi mereka yang jauh dari kota besar, harus menyiapkan dana berkali lipat, sebab biaya akomodasi yang tak sedikit. Semua demi membuat anaknya menjadi mahasiswa, sosok yang kemudian menjadi gantungan harapan dan celengan masa depan.
Banyak anak yang ajeg mendapat rangking semasa disekolah, namun karena tersendat urusan biaya, alhasil keadaan menuntut mereka untuk lebih memilih bekerja, kebanyakan dari mereka adalah seorang buruh pabrik.
Biaya selalu menjadi permasalahan kompleks . Ya, meski negara hadir berwujud beasiswa, tapi sayang, tidak semua bisa beruntung mendapatkannya.
Baca juga: Mahasiswa, Impian dan Uzumaki Naruto
Para orang tua yang sangat menginginkan anaknya jadi mahasiswa sampai berujar, “Saya bisa makan seadanya, asal anak saya bisa kuliah.”
Di sisi lain, perbedaan datang dari mereka yang berasal dari keluarga mampu. Kuliah bukan perkara yang lantas membuat mereka harus bergumul dengan tanah, bermandikan keringat, apalagi pusing memikirkan bisa terjual tidakkah hasil buminya. Mereka lebih beruntung. Ironisnya, di kalangan ini, ada saja yang berkuliah hanya sekadar untuk beralih dari kegiatan nganggur tengak tenguk di rumah timbang lahpo.
Pada umumnya, orang-orang seperti itu hanya akan menjadi benalu dan parasit bagi mahasiswa lainnya. Sederhananya, sebagian mahasiswa yang berasal dari keluarga mampu, tidak mempunyai niat luhur untuk menjadi mahasiswa yang baik. Mereka dengan ringan tangan mentraktir temannya, mengajak mereka nongkrong, sehingga banyak teman yang menerima ajakan untuk nongkrong dibanding belajar dengan dalih tidak enak untuk menolak.
Baca juga: Reinkarnasi, Perempuan dan Pelecehan Seksual
Hal itu menjadi permasalahan utamanya. Orang-orang yang ghirah mencari ilmu mulanya kuat dan fokus dengan tujuannya, namun kemudian menjadi malas karena sudah terkontaminasi oleh lingkungan.
Selanjutnya, pola pikir mahasiswa banyak yang terdistraksi menjadi pragmatis, semua tugas-tugas dikerjaan seadanya, yang penting selesai, tanpa mau mengambil value nya. Saya setuju dengan apa yang dikatakan Nadiem Makarim, bahwa masuk kelas tidak menjamin kita belajar dan saat lulus belum tentu mempunyai kompentensi.
Miris rasanya, saat kita sudah sampai pada era revolusi industri 4.0, dimana persaingan kerja tergelar secara bebas, dan yang tidak berkompetensi akan kalah. Tapi kita masih sibuk memikirkan gengsi dan memelihara rasa minder atas pekerjaan yang tidak sesuai dengan gelarnya. Akhirnya banyak yang menganggur karena keberatan gelar.
Baca juga: Lunturnya Sisi Kemanusiaan dalam Pendidikan
Kurang lebih 60% orang Indonesia bekerja tidak sesuai jurusan. Mereka adalah golongan yang dipaksa keadaan dan harus membuang jauh-jauh rasa gengsi.
Oleh karena itu, kita harus mulai berpikir kedepan, dan berhenti menuruti gengsi. Lebih jauh lagi, kita sudah harus membangun kesadaran dan tanggung jawab atas diri kita sendiri, serta balas budi kepada orang tua. Hal ini tentu dengan posisi kita sebagai mahasiswa yang harus menjalankan kewajiban untuk belajar.
Oleh: Fikri Thoharudin