Transformasi nilai dan norma yang gagal pada judul kali ini bukanlah penjelasan dari salah seorang filsuf Jerman yakni Jurgen Hebermas, tentang perdebatan relasi sosial yang selalu menjadi biang keladi munculnya ketidakadilan. Tetapi, maksud dari kutipan tersebut adalah mengenai gagalnya transformasi nilai dan norma sosial yang telah diajarkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia tentang kepedulian, gotong royong, dan saling tolong-menolong karena perkembangan zaman.
Redupnya nilai-nilai sosial ini terbukti dengan adanya pergeseran kegiatan dan perilaku yang dilakukan oleh generasi milenial melaui media sosial, yang setiap harinya diisi dengan bermain game, chatting, ataupun sejenisnya.
Kehidupan generasi bangsa dewasa ini seolah sudah terlena oleh kegiatan yang tidak meperdulikan orang lain dan lingkunganya, bahkan bertatap muka saja enggan. Dampaknya, mereka lebih memilih sesuatu yang instant daripada berjalan melewati proses.
Baca juga: Sang Pendingin di Kala Panas, Nurhadi Aldo Pilihanku
Sehingga jika dibandingkan, daya juang remaja milenial saat ini jauh lebih rendah daripada generasi sebelumnya (generasi Y) yang telah melewati berbagai proses meski itu panjang dan tidak mudah.
Perkembangan zaman yang diharapkan menjadi alternatif menuju era baru, kini tidak sepenuhnya memberi solusi baik bagi tatanan masyarakat. Banyak norma dan adat kebudayaan yang semakin mengikis, contoh kecilnya seperti menundukan kepala ketika berapapasan dengan orang yang lebih tua, sekarang mulai sulit dijumpai.
Norma-norma kehidupan sosial yang ramah telah dinodai, bahkan dalam ranah pendidikan sekalipun. Seperti kasus video yang sempat viral beberapa waktu yang lalu. Tindakan tak beradab dilakukan beberapa siswa di SMK NU Kaliwungu Kendal, yang mengeroyok seorang guru dengan alasan hanya bercanda. Sungguh alasan yang konyol dan tidak masuk akal.
Baca juga: Kuasa Politik Feodal di Kampus Kita
Dilihat dari contoh kasus tersebut, hal itu tentu sangat menyimpang dari nilai sosial dan norma yang ada. Jika perilaku ini hanya dibiarkan, dampak buruk lain akan semakin bermunculaan seperti hilangnya tokoh panutan, maraknya tindakan kejahatan, atau bahkan sampai hilangnya wibawa ulama dan tokoh masyarakat.
Agar tidak semakin parah, kita sebagai bagian dari generasi penerus bangsa bisa mengantisipasi melaui lingkungan terdekat, baik keluarga atau orang tua. Karena usaha yang baik dari keluarga dan orang tua mampu mengatasi lunturnya nilai sosial sudah terjadi.
Semua telah berubah, teknologi informasi yang tercipta semakin berkembang pesat dan mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat. Media sosial seperti facebook, twitter, instagram, youtube, dan sejenisnya memberikan konten yang lebih menarik daripada silaturahmi, kegiatan sosial di desa-desa, serta gotong royong yang merupakan ciri bangsa Indonesia sejak dahulu kala.
Keadaan ini semakin menjadi ancaman untuk berbagai pihak. Bagi pemerintah misalnya, yang harus memberikan solusi bagi para penerus bangsanya. Karena jika dilihat dari keadaan saat ini, generasi milenial nyatanya belum siap menerima era keterbukaan informasi.
Baca juga: Mencela Manusia Sama Saja Menghina Penciptanya
Padahal pada 2016, pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mendorong supaya melakukan Gerakan Literasi Nasional (GLN), sebagai bentuk merealisasikan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti, sebagai alternatif merawat masyarakat dan generasi milenial terhadap literasi di media.
Hal ini dilakukan untuk membangun budaya literasi pada seluruh ranah pendidikan, baik keluarga, sekolah, dan masuarakat. GLN diharapkan dapat membantu perubahan perilaku di era informasi. sayangnya, GLN ini hanya berjalan beberapa waktu saja. Program ini bisa diibaratkan dengan peribahasa “lempar batu sembunyi tangan”. Apa yang dulu sudah ditetapkan, namun mendadak hilang tanpa jejak.
Itulah efek perkembangan zaman, hanya setengah hati dalam mengerjakan, padahal inisiatif dari pemerintah ini merupakan solusi baik. Upaya pemerintah tidak bisa berjalan secara maksimal. Dan saat ini giliran kita yang merubah, kita tidak boleh hanya berpangku tangan meminta solusi pemerintah saja, karena dimulai dari diri sendirilah yang harus sadar dan bertindak.
Baca juga tulisan lainnya dari Sabrina MF Dialog Sastra, Arahkan Bahasa Masa Kini Penghitungan Surat Suara di FEBI Kekurangan Waktu Cabor Tenis Meja FDK Optimis Sabet Semua Emas di Orsenik 2018 Cabor Catur FDK Berhasil Sabet Emas di Orsenik 2018 Maba Respon Ancaman DEMA FDK Rahasia Dibalik Kemenangan Atlet Lari Sprint FDK
Penulis: Sabrina MF