Foto: lpmmissi.com / Galatina.it |
“Rumah kita sedang terbakar, saya mau kita semua panik!” Ya, begitulah seruan Greta Thunberg, seorang aktivis iklim dari Swedia berusia 17 tahun yang menggemparkan dunia tiap kali mengkampanyekan kondisi bumi saat ini.
Berawal dari merebaknya virus corona yang telah menginfeksi dua juta lebih umat manusia di bumi, dan menewaskan setidaknya 1,4 ribu jiwa. Manusia harusnya bisa lebih sadar dan peduli pada keadaan bumi saat ini. Tuhan menciptakan virus, tidak lain hanya ingin membuat manusia sadar atas segala perilaku buruk pada bumi yang harus dipertanggungjawabkan.
Hari bumi yang jatuh pada tanggal 22 April, di tengah pandemi virus yang masih melanda khususnya di negara Indonesia sejak bulan Maret lalu, membuat keadaan umat manusia semakin terjerat. Dengan total kasus positif terinfeksi hingga menembus jumlah 6.248 ribu orang. Hal ini tentu berhasil merombak tatanan segi perekonomian yang semakin menurun, baik di bidang industri, pendidikan, politik, ekonomi, agama, maupun manufaktur.
Beberapa kasusnya, ibu rumah tangga mendadak dituntut paham Informasi Teknologi (IT) demi pemenuhan kebutuhan hidup. Sistem pembelajaran menjadi terkendala dan seluruh sekolah terpaksa harus diliburkan. Pedagang kecil yang semula menjajakan daganganya, harus terhenti karena ditetapkanya lockdown di sebagian wilayah.
Baca juga: Awan Semar Merapi dan Harapan Wabah Berakhir
Banyak pasangan yang berencana menikah di tahun ini, harus ditunda dalam rentan waktu yang tidak ditentukan oleh pemerintahan Indonesia. Driver ojol dan supir angkut tidak bisa mengantarkan penumpang karena diberlakukanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) serta karyawan yang terpaksa berhenti karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Banyak orang yang kehilangan pekerjaan, berdampak pada peningkatkan kasus kriminalitas, mulai dari perampokan hingga penjarahan bahan demi kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Semakin maraknya pencurian. Itulah sederet akibat di berbagai bidang dari adanya pandemi virus yang masih melanda saat ini.
Mendadak terjadinya krisis pangan darurat akibat kasus pandemi di Hari Bumi. Tentu menjadi masalah bersama yang kebijakanya harus segera ditangani dan dibenahi oleh pemerintah Indonesia.
Hari Bumi ini seharusnya dijadikan momentum besar untuk merenung dengan penuh kesadaran. Seorang jurnalis Nick Paton Walsh sempat berfikir, terciptanya virus corona merupakan tanda yang jelas dan tidak dapat ditangkal.
Telah terjadi kerusakan lingkungan di Bumi, penyebab utamanya adalah aktivitas industri yang dilakukan oleh umat manusia yang merugikan bumi. Dalam kondisi ini, teringat oleh Putut EA penulis asal Rembang, yang mengedepankan pola berfikir realitas dan destruktif. Bahwa setiap masalah harus ditelaah dengan solusi yang bijak, dan memikirkan ulang tindakan yang dapat merugikan umat.
Pandemi Virus saat ini, telah mengajarkan umat manusia untuk merenung dan mengubah banyak perspektif pola berfikir menjadi lebih bermakna. Memandang alam sebagai poros bumi yang menghidupkan manusia, peduli dengan berfilantropi terhadap sesama makhluk hidup lainya.
Baca juga: Membangun Metode Pembelajaran di Tengah Pandemi
Semua harus berhenti menganggap bahwa manusia adalah pusat dari semesta alam yang tidak dapat digulingkan. Bersama tetap menghargai bentuk penciptaan. Bukan tanpa sebab, Tuhan telah menciptakan alam dan mahluk dengan segala isinya yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia, jika alam dirusak lantaran tamak, lantas bagaimana bumi akan menerimanya.?
Mungkin kita bisa belajar dari Kasepuhan Cipta gelar, masyarakat hukum adat yang berjalan diatas dua zaman, melestarikan tradisi yang akrab dengan teknologi tanpa merusak alam. Sehingga pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dapat diatasi. Harus dapat menimbang ulang, segala macam bentuk kebijakan impor dari luar negeri, sehingga kebutuhan pangan dalam negeri dapat tercukupi.
Di tengah krisis pangan saat ini, pemerintah Indonesia harus membangun kemandirian pangan yang dapat menjangkau ranah nasional. Tidak melulu condong pada pembangunan ekonomi, proyeksi infrastruktur, industri tol, budidaya tambang, hal itu tentu akan terus merusak tatanan alam.
Jika bukan kita yang merawat bumi, lantas siapa lagi?
Mengapa nyala lampu kita, meninggalkan lubang-lubang tambang
Mengapa terang rumah kita, mendatangkan duka dan derita
Nyalakan lampu dari putaran angin
Terangi rumah dari aliran air
Sinari kota dengan panas matahari
Kita akan selalu butuh tanah
Kita akan selalu butuh air
Kita akan selalu butuh udara
Jadi teruslah merawat
Sebuah potongan lirik lagu yang berjudul lagu alternatif dan lagu hidup karya Sisir Tanah, salah seorang musisi asal Jogja. Kiranya hal itu bisa dijadikan sebagai refleksi berfikir bagi kita semua di Hari Bumi ditengah pandemi virus yang masih terjadi.
Oleh : Fikri Thoharudin