Connect with us

    esai

    Jolly Roger Bukan Bentuk Ekspresi Ataupun Provokasi, Tapi…

    Published

    on

    Jolly Roger Bukan Bentuk Ekspresi Ataupun Provokasi, Tapi... (Dok. Hasan)

    SEMARANG, LPM MISSI.COM- Menjelang Hari Kemerdekaan, suasana ramai dengan berkibarnya bendera bajak laut Mugiwara no Luffy di berbagai tempat. Bendera bajak laut atau Jolly Roger ini mengundang berbagai kontroversi.

    Sebagian pihak ‎ada yang setuju dan salut dengan pengibaran ini. Mereka memberikan kritik berupa ekspresi simbolik kepada pemerintahan dan menyatakan bahwa keadaan di Indonesia saat ini tidak jauh berbeda dengan dunia One Piece, dimulai dari pajak yang tinggi, pemerintahan, dan semacamnya.

    ‎Namun, ada juga yang kontra, menganggap bahwa pengibaran bendera bajak laut ini adalah sebuah provokasi yang merendahkan martabat bangsa. Penolakan ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu kebangsaan.

    Baca juga: Lepas 57 Mahasiswa FDK dalam Misi Khusus Papua, Fakultas Jamin Kesahatan dan Keselamatan Mahasiswa

    ‎Sebagai penggemar One Piece, saya sama sekali tidak memandang Jolly Roger ini sebagai bentuk ekspresi, provokasi, ataupun semacamnya. Saya memandangnya dari ajaran Tony Tony Chopper, yang menganggap bahwa lambang dari tengkorak di bendera bajak laut bermakna sebuah do’a.

    ‎Dokter Hiluluk, guru dari Tony Tony Chopper pernah mengatakan bahwa Jolly Roger adalah simbol doa baginya: bahwa tidak ada penyakit yang tidak bisa disembuhkan.

    ‎Oleh karena itu, bagi saya, pengibaran itu adalah doa supaya penyakit korupsi yang mendarah daging di Indonesia, yang menurut sebagian cerita, telah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda, segera sembuh. Dan korupsi tidak hanya di pemerintahan saja. Dalam lingkup kecil, seperti menerobos lampu merah, makan lebih dari jatahnya, menyerobot antrian, memintakan hadir pada teman, membuang sampah sembarangan, dan masih banyak lagi korupsi skala kecil yang sebenarnya masih sering dilakukan.

    Penulis: Muhammad Hasan
    Editor: Nur Iffatul Ainiyah

    Continue Reading
    Click to comment

    Leave a Reply

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *