Ketika lahirnya “Orde Baru” di Indonesia. kata ‘pembangunan’ menjadi diskursus yang dominan dan erat kaitanya dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah pada waktu itu. Menurut Robert A dahl, sistem politik adalah sebagai pola yang tetap dari hubungan- hubungan antar manusia yang melibatkan sampai dengan tingkat berarti (kontrol, pengaruh, kekuasaan, ataupun wewenang). Hal ini memungkinkan pemerintahan memiliki wewenang dan kontrol dalam menyebarkan informasi kepada masyarakat.
Tak bisa dipungkiri, TVRI pada waktu itu menjadi sebuah stasiun berita yang menyampaikan setiap kebijakan dan program pemerintah tanpa ada campur tangan pihak lain. sedangkan, pemerintah pada waktu itu dengan berbagai peraturanya membredel media yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Pada 21 juni 1994 media massa seperti Tempo, Detik dan Editor dicabut surat izin penerbitanya oleh pemerintah yang saat itu masih berlaku SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan), alasanya yaitu media tersebut melakukan investigasi penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintah. SIUP sendiri ibarat nyawa perusahaan media yang diberikan juga kepada para pengusaha baik perorangan, Firma, CV, PT, Koperasi, BUMN, dan sebagainya.
Setelah reformasi 1998, muncullah UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers, indonesia mengalami titik balik kebebasan informasi. Dengan tumbuhnya Media yang berkontribusi dalam penyiaran di indonesia semisal RCTI, SCTV dan TPI. Serta koran dan media lainya. Begitu pula dengan sistem regulasi yang berlaku di televisi, koran dan media yang lain.
Seiring perkembangan zaman, media mengalami perubahan yang sangat besar menuju era digital, dimana setiap orang bisa memberikan informasi dan menerima informasi tanpa ada batasan. Sayangnya, masyarakat indonesia belum bisa menciptakan ruang lingkung media informasi yang sehat. semisal menyediakan informasi umum, kebijakan pemerintah serta pesan yang bermanfaat. Masyarakat indonesia condong menyampaikan informasi yang kurang bermanfaat semisal pesan broadcast “makan mie instan dengan coklat yang bisa menyebabkan kematian” ataupun “ujaran mendirikan khilifah di indonesia”.
Di era informasi digital dan mendekatnya masa pemilihan umum, masyarakat indonesia mengalami penyebaran informasi yang tidak kondusif, dari pesan provokatif dan pesan politik sarak yang kurang sehat. dengan dalih agama, ras, maupun kepentingan. Ada sebagian oknum yang memanfaatkan media sebagai alatnya. Seperti “saracen” yang terungkap oleh media beberapa beberapa bulan yang lalu.
Pemerintah pun meminta saran dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang hukum menggunakan media. Dan lahirlah keputusan MUI Nomor 24 tahun 2017 bahwa menyebar kebencian serta memberitakan berita yang tidak sesuai fakta adalah haram, beserta kriterianya yang lain adalah haram.
Kreativitas anak bangsa memang hebat. Ketika pemerintah berupaya menangkal ujaran kebencian melalui media, Ada sebagian oknum yang menyelewengkan kinerja pemerintah dengan meme “Terciduk”. Dengan berkembangnya media sosial semisal instagram, facebook, twitter dan lain sebagainya. Informasi yang disebarkan pun sudah dikemas melalui keativitas seperti meme, kartun ataupun video pendek. Yang lebih berkesan serta lebih dipahami oleh masyarakat.
Dengan adanya fatwa mui tentang haram menyebarkan informasi yang mengandung kebencian serta berita hoax, setidaknya menjadi usaha nyata oleh pemerintah, serta dibarengi dengan penanganan secara langsung dengan UU, serta penindakan. Apabila perlu penahanan pelaku bisa dilakukan, guna meminimalisir informasi yang merugikan bagi masyarakat, sebuah langkah yang bijak dari pemerintah, dengan sebuah syarat, penangkapan tersebut tanpa melanggar UU kebebasan pers, UU menyampaikan pendapat dimuka umum, serta sumber hukum negara kita yaitu UU1945.
Dengan syarat bahwa informasi itu lebih banyak manfaatnya bagi masyarakat umum dan pemerintah bukan sebagai alat konspirasi dari pemerintah sendiri.
Penulis : Ahmad Ghufron Faiz