Kekalahan itu pasti selalu sangat menyakitkan. Betapapun kita telah berusaha untuk tabah dan sabar, tetap saja ada yang terasa perih di hati ini. Bagi Aryo rasa perih itu malah disyukurinya.
Baginya selama hatinya masih bisa merasakan rasa perih, itu pertanda dua hal. Pertama, berarti dia masih punya hati. Kedua, dia masih sehat secara psikologis, karena dia merasa belum menjadi seorang neurosis.
Itu jika satu, dua, tiga, sepuluh, atau seratus kali kalah. Namun, kita ini telah beratus-ratus tahun berada dalam kekalahan. Sejak dijajah tentara Portugis sampai sekarang dijajah majalah Playboy.
“Lho kok bisa Playboy menjadi penjajah?” tanya Totok salah satu dari dua teman ngobrol Aryo.
“Iya, bagi saya yang menakutkan dari Playboy bukan hanya gambar-gambarnya. Tapi juga gaya hidup serta ekspansi ekonomi yang dibawanya. Yang lebih menakutkan dari itu semua adalah bahwa bangsa ini masih terlalu lemah dan mudah untuk dijajah negara-negara maju,” kata Aryo berapi-api.
“Kekayaan di negara ini tidak merata. Dan tragisnya mereka yang mendapat kue kekayaan lebih, malah membelanjakan uangnya untuk hal-hal yang sangat menyakitkan bagi mereka yang miskin, termasuk untuk membeli Playboy yang mahal itu,” lanjutnya.
Baca juga: Pornografi, Pornoaksi Versi Orang Pinter
“Betul sekali ucapanmu Aryo. Sering kali kita melihat hal seperti itu dipertontonkan di depan mata kepala kita. Lihat saja di mall-mall yang mempertontonkan atraksi orang-orang kaya dengan gaya hidup mewahnya. Atau di jalan-jalan, di gedung-gedung wakil rakyat, di gedung-gedung pemerintahan, bahkan juga di gedung-gedung perkuliahan yang ditumbuhi mobil-mobil yang terlalu mewah,” timpal Budi yang duduk di samping kiri Aryo.
“Denger-denger ada sebuah hasil temuan lembaga survei yang menyatakan bahwa jika seluruh Pekerja Seks Komersial (PSK) di Indonesia ini dikenai pajak, maka akan menghasilkan devisa terbesar bagi Indonesia,” ungkap Aryo.
“Wah, jika ada data konkretnya, itu sangat menarik untuk ditulis,” kata Totok.
“Iya, bisa kita angkat untuk berita edisi depan. Tapi sayangnya setelah aku cari, data tentang itu tak bisa kudapatkan. Aku sudah berusaha bertanya di beberapa milis, tapi tidak ada yang punya data tertulisnya,” jawab Aryo.
“Sayang sekali ya,” timpal Budi.
“Benar Bud, kalau ada datanya setidaknya kita dapat tambahan tema baru untuk berita di majalah kita. Tapi dari cerita tentang hasil survei itu, yang ingin aku katakan adalah mengapa orang kaya baru memberi uang kepada orang miskin, dalam hal ini adalah PSK, setelah “menjajahnya”,” jelas Aryo bersemangat.
“Iya ya, mengapa mereka tidak memberikannya dalam bentuk shodakoh saja ya?” tanya Totok setengah menerawang. “Aku jadi membayangkan jika saja munusia “hidung belang” itu kemudian berubah menjadi manusia bertakwa dan memberikan uang itu dalam bentuk shodakoh, pasti jumlah PSK akan berkurang tajam.”
“Bisa jadi. Karena kebanyakan PSK selalu mengatakan alasan ekonomilah yang membawa mereka bekerja seperti itu,” timpal Budi.
“Jujur ya, kadang aku sampai takut untuk dekat dengan lawan jenis karena jangan-jangan mereka juga menjadi “ayam kampus”,” ucap Totok bercanda.
Baca juga: Geliat TV Lokal di Semarang
“Waduh, sampai segitunya. Enggaklah, sebagai wartawan kampus kita kan juga tahu banyak apa yang dilakukan seluruh warga kampus. Jadi, kita tahu siapa yang menjadi “ayam kampus” dan siapa yang tidak, siapa pejabat kampus yang suka “main” dan siapa yang tidak, atau bahkan siapa pejabat kampus yang menjadi koruptor dan siapa yang tidak,” cetus Budi sambil tersenyum.
“Sok tahu kamu Bud, emang di kampus kita ada yang menjadi “ayam kampus”? Emang pejabat kampus kita ada yang suka “main”? Terus, emang pejabat kampus kita ada yang suka korupsi?” balas Totok sambil bersungut-sungut.
Budi lalu bergeser mendekat ke arah Totok dan membisikkan sesuatu cukup lama. Bersamaan dengan itu Desi dan Nina datang. Mereka berdua kemudian ikut duduk melingkar untuk diskusi bersama.
“Maaf ya kita datang tepat waktu,” kata Desi.
“Tidak apa-apa kok, bagus kalian datang tepat waktu dari pada terlambat. Kita belum masuk ke tema diskusi kok, baru bicara ngalor-ngidul,” ucap Aryo.
Memang kebiasaan datang sebelum waktu acara diskusi dimulai telah menjadi tradisi di Lembaga Penerbitan Mahasiswa tempat Aryo dkk beraktifitas. Karena itu ketika Desi dan Nina datang tepat waktu mereka meminta maaf.
“Seperti kesepakatan minggu kemarin, kali ini kita diskusi tentang gaya hidup mahasiswa,” ucap Totok membuka acara diskusi.
Desi sebagai pembicara kemudian menguraikan makalah yang telah dibuatnya. Inti dari makalah itu adalah bahwa gaya hidup mahasiswa banyak dipengaruhi oleh pemikiran mahasiwa bersangkutan.
Mahasiswa yang idealis pasti akan selalu berusaha berperilaku sesuai dengan ideal yang dia pikirkan. Mahasiswa yang hedonis akan berperilaku dengan orientasi untuk menyenangkan dirinya.
Sedangkan mahasiswa yang setengah-setengah, dalam arti kadang tampak idealis tapi kadang juga terlihat hedonis, gaya hidupnya pun akan setengah-setengah.
“Menurutmu mahasiswa yang suka menjilat pejabat kampus, katakanlah mahasiswa feodal gitu, masuk kategori mana?” tanya Budi.
Desi kemudian menjawab pertanyaan Budi. Diskusi pun terus mengalir, banyak pertanyaan dan pernyataan yang keluar dari mereka berlima. Sampai akhirnya mereka berkesimpulan bahwa generasi sekarang adalah generasi kalah.
“Kita ini generasi kalah, dengan mental kalah. Karena itu, banyak mahasiswa yang tidak pede dengan kemampuan dirinya sendiri kemudian melakukan pendekatan “lain” kepada dosennya agar mendapat nilai bagus. Ada juga yang tidak pede dengan kemampuannya tapi ingin mendapatkan beasiswa, dan kemudian memanfaatkan “jalur politik” untuk mendapatkannya,” kata Totok.
“Ada juga yang kalah sebelum bertanding, mereka kegiatannya hanya nonton Tv dan hura-hura,” timpal Nina. “Dan yang seperti ini yang banyak kita jumpai di kampus ini,” imbuhnya.
“Itu di tingkat mahasiswa,” tambah Aryo. “Kalau di tingkat pejabat menurutku para koruptor itu termasuk generasi kalah. Mental generasi kalah ciri-cirinya adalah selalu tidak tenang menghadapi masa depan. Karena itu mereka berpikir untuk menumpuk banyak harta, agar masa depan mereka lebih pasti.”
“Kalau kita ini termasuk generasi kalah kategori yang mana?” tanya Nina.
Diskusi pun terus berlangsung. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak dijawab dengan tuntas. Mereka sengaja membiarkan pertanyaan-pertanyaan itu mengejar mereka, supaya mereka bisa terus berlari, supaya mereka bisa terus mencari jawaban-jawaban ataupun pertanyaan-pertanyaan lainnya.
(Untuk sahabat-sahabatku yang masih setia mencari kebenaran meski godaan selalu menghampiri)
Penulis: Emenev
(Penulis adalah kru LPM Missi 2006)
Generasi Kalah
[td_block_social_counter twitter="tagdivofficial" youtube="tagdiv" style="style8 td-social-boxed td-social-font-icons" tdc_css="eyJhbGwiOnsibWFyZ2luLWJvdHRvbSI6IjM4IiwiZGlzcGxheSI6IiJ9LCJwb3J0cmFpdCI6eyJtYXJnaW4tYm90dG9tIjoiMzAiLCJkaXNwbGF5IjoiIn0sInBvcnRyYWl0X21heF93aWR0aCI6MTAxOCwicG9ydHJhaXRfbWluX3dpZHRoIjo3Njh9" custom_title="Stay Connected" block_template_id="td_block_template_8" f_header_font_family="712" f_header_font_transform="uppercase" f_header_font_weight="500" f_header_font_size="17" border_color="#dd3333" instagram="https://www.instagram.com/lpm_missi/?hl=en"]