Connect with us

Cerpen

Budi dan DPR

Published

on

Ilustrasi 'Budi dan DPR', doc: lpmmissi.com/ pixabay
Ilustrasi 'Budi dan DPR', doc: lpmmissi.com/ pixabay

Budi menghela nafas di atas kasurnya. Ia saat ini sedang menyaksikan sebuah film.

“Akh, enak ya jadi …”

“Halah!” Belum selesai ucapan Budi, Ragil menyentaknya. Ia yang tadi duduk di atas kursi belajar sambil membaca buku filsafat berdiri. Berjalan ke arah Budi yang seketika duduk bersila, merasakan sebuah bahaya.

“Tak kasih tahu ya, Bud. Ketimbang dirimu berandai-andai terus habis nonton anime ataupun film ‘andai aku jadi’, ‘enak ya jadi itu’, ‘akh, aku kepengen gitu’, ‘andai…’ bla bla bla,” cerocos Ragil sambil memperagakan tangan kirinya seperti mulut.

“Mending kau buat ceritamu sendiri!” ucapnya sambil memindahkan situs illegal yang seketika memunculkan iklan di laptopnya.

“Hish, sudah dibilangin jangan pakai situs illegal, lho!” ujar Ragil kesal sambil ngetak kepala Budi.

“Sudah habis leh yang Netflixnya itu.”

“Makanya beli lagi, bodoh! Kau ini! Mental bajakan sekali, sih!” gerutu Ragil sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ia kemudian menyodorkan laptop Budi kembali padanya. Tampilan filmnya hilang. Bahkan googlenya tidak ada di sana. Budi sedikit mendesah kesal. Ia kesulitan untuk sampai ke titik bisa menonton film tersebut, melewati berpuluh-puluh iklan.

“Aku kau suruh ngapain, jir?!” seru Budi kesal mendapati halaman Microsoft word di laptopnya.

“Menulislah, Budi!” perintah Ragil.

“Untuk apa? Indonesia gelap. Minat membaca rendah. Untuk apa aku menulis?” tanya Budi sambil merentangkan tangannya. Telapak tangannya terbuka. Tidak ada apa-apa di sana. Karena memang, tidak akan ada apa-apa yang ia dapatkan dari menulis.

“Hei, Budi! Aku akan memberitahumu! Menulis tidak harus untuk dibaca! Menulis adalah pelarian para penulis! Ini lebih bermanfaat ketimbang kau berandai-andai atau berkhayal saja. Dan ini juga lebih mudah dan murah ketimbang kau #kaburajadulu. Atau kau ingin kabur dari kehidupan bermasyarakat? Macam DPR?” tanya Ragil ketus yang langsung dibalas dengan gelengan kuat Budi.

“Apa yang ingin aku tulis?” tanya Budi.

“Hah? Kenapa kau tanya aku? Kau kan yang punya otaknya.”

“Kau tidak punya otak?” Budi membalas.

“Enggak, Anjing!” seru Ragil kesal.

“Kau kan yang tadi berandai-andai ingin apa. Nah itu kau tulis!” jelas Ragil menambahkan dengan nafas menderu. Kesal.

“Naruto…” Budi mengetik pelan huruf N-A-R-U-T-O sebagai judul di paling atas tengah halaman.

“Enggak Naruto juga, Anying. Kau bisa kena royalti,” ucap Ragil yang langsung menghapus cepat tulisan pertama Ragil.

“Royalti? Bukankah yang kena hanya lagu? Harusnya kan copyright, Gil.”

“Iya, itu. Alamak. Kau sudah tahu kalau ada copyright, kenapa masih melakukannya. Bodoh sekali! Sudah tahu itu dilarang, malah kau langgar.” Ragil semakin kesal dengan tingkah Budi. Ia mengacak-ngacak rambutnya sendiri.

“Ya sudah, aku kasih namaku sendiri,” ucapnya sambil menuliskan nama B-U-D-I.

“Jadi, apa yang kau inginkan dari karakter ‘Budi’ itu?” tanya Ragil.

“Budi adalah seorang mahasiswa Hukum yang suatu hari menemukan sebuah teko yang ternyata berisi jin. Namun, berbeda dengan cerita biasanya di mana ia diberi tiga permintaan. Yah, ini sangat mengecewakannya. Karena padahal Budi sudah menyiapkan permintaan terakhir, yaitu menambah lagi tiga permintaan.”

“Hmm…” Ragil mengangguk-angguk membaca sekaligus mendengarkan cerita Budi.

“Sangat mencerminkan …”

“DPR,” ucap Budi mendahului Ragil, yang membuat kawannya itu sangat terkejut. Karena ia tidak menyangka Budi akan menggambarkannya seperti itu.

“Iya, toh? Orang gajinya sudah banyak, tapi ditambah tunjangan-tunjangan tidak jelas yang padahal tidak perlu. Kayak Budi di cerita ini. Ya dia cukup dengan tiga permintaan, tapi dia hendak menambah lagi tiga permintaan di akhir permintaannya nanti,” jelas Budi sambil menunjuk layar laptopnya.

“Haha…”Ragil tertawa tipis. Karena sedikit kikuk melihat Budi menjadikan nama tokoh biadab tidak berperasaan tidak berotak dan tolol itu dengan namanya sendiri.

“Tapi, kalau kau samakan DPR, berarti kau tidak menulisnya dengan dia ingin menambah tiga permintaan. Orang gaji DPR kan kalau tidak salah hanya lima atau enam juta, tapi tunjangannya bisa sampai ratusan juta. Jadi, diksimu jangan ‘tiga’, tapi ‘satu juta’,” koreksi Ragil sambil menunjuk tulisan ‘tiga’ yang dia maksud.

“Oh iya, kau benar.” Budi melakukan seperti yang diucapkan Ragil.

“Lalu, apa yang didapatkan ‘Budi’?” tanya Ragil masih saja merasa aneh.

“Dia mendapatkan kekuatan. Kekuatan yang sangat besar,” ujar Budi dengan semangat.

“Lalu, dengan kekuatannya yang sangat besar itu. Dia menerobos gerbang DPR yang besar itu. Memasuki ruangannya yang besar. Membuat gemetar dan mengompol orang-orang berjas hitam dan sebagainya yang hanya beban negara,” ujar Budi dengan semangat menggebu-gebu. Ragil benar. Menulis sangat luar biasa.

“Tunggu! Apa yang akan dilakukan Budi kemudian?” tanya Ragil.

“Dia membantai semuanya. Menjadikan mayat-mayatnya sebagai gunung, kemudian dibakar beramai-ramai bersama para pendemo. Dengan gaya yang keren, dia duduk di atas tumpukan mayat yang terbakar itu,” ucap Budi sambil mengetik dengan sangat bergairah.

“Wait! Kau mau membantai DPR?” tanya Ragil.

“’Budi’,” ujar Budi sambil menunjuk tulisannya, “… bukan aku.”

“Aku rasa itu bukan jalan keluar yang bagus. Fungsi Legislatif akan mengalami kekosongan. Dengan begitu, kekuatan eksekutif akan membuat negara ini menjadi negara otoriter. Itu pertama. Kedua, banyak yang akan berebutan untuk mengisi kekosongan DPR itu apabila negara tidak jadi otoriter. Dan itu pasti kacau tidak terkendali, Bud. Ketiga, negara lain menganggap ini sebagai krisis politik dan yah…” Ragil mengangkat tangan. Tidak tahu bagaimana menjelaskannya.

“Kita jawab dulu. Mulai dari yang ketiga. Ada kemungkinan negara lain menyerang? Santai saja, Gil. ‘Budi’ kan pahlawan super. Kedua, ada kekosongan dan …” Budi kebingungan. “Ketiga…” Budi kembali kebingungan.

“Nah, kan? Susah tho?” Ragil menjetikkan jari.

“Akh, tidak, kok. Kalau DPR baru atau presidennya otoriter yang sama-sama menyusahkan rakyat, tinggal aku … eh, ‘Budi’ bantai saja, tho?” Budi mengangkat kedua jempolnya. Dia mengatakannya dengan senyuman seolah kata ‘bantai’ bukan apa-apa baginya.

“Heh, Bud. Ini bukan anime yang ketika orang mati terlihat biasa saja. Ini dunia nyata. Kematian itu mengerikan. Sangat-sangat mengerikan. Kau tidak melihat bagaimana ojol dilindas oleh mobil brimob? Itu mengerikan! MENGERIKAN!!” seru Ragil sangat kencang.

“Ya, itu mengerikan,” ucap Budi mengangguk pelan. Kedua tangannya gemetar.

“Lalu apa? Bukankah dengan si ‘Budi’ membantai setiap dewan yang dia anggap merugikan rakyat, dia akan membantainya, bukankah itu berarti dia akan menjadi sosok otoriter itu sendiri. Peluang development-nya malah membuat dia menuju sosok yang seenaknya, seperti Homelander mungkin. Atau entah siapa. Dia gila.” Budi mengangguk.

“Apalagi tidak ingatkah kau? Kau membuat karakter si ‘Budi’ ini bersifat macam koruptor di awal cerita tadi. Bukankah itu peluang dia menjadi sosok mengerikan di ceritanya.”

“Tapi kan kau bilang menulis itu untuk pelarian. Biar aku merasa bebas. Kan berarti, bebas,” ucap Budi pelan. Takut dibentak lagi oleh Ragil.

“Eh…” Ragil seketika menggaruk kepala bagian belakangnya.

“Hehe, maaf, Bud.” Ia mengangguk pelan.

“Eh, tapi kalau ini diupload bahaya nggak sih?” tanya Budi.

“Halah,” Ragil mengibaskan tangan,

“Menghitung saja tidak bisa. Apalagi membaca tulisan sebanyak 1052 kata,” ujar Ragil mengakhiri cerita.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *