Beberapa minggu ini banyak MABA (Mahasiswa Baru) bertanya tentang Peraturan Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo yang melarang mahasiswinya untuk memakai cadar. Beginisalah satu pertanyaannya: kenapa sih kampus kita melarang untuk memakai cadar kak? Sejujurnya pertanyaan ini membuatku risau melebihi risaunya Cinta ketika ditinggal Rangga keluar negeri.
Ya, aku risau karena takut tidak bisa menjawabnya. Sadar dirilah aku bukanlah seorang yang compaitable untuk berpendapat tentang cadar layaknya Quraish Shihab. namun untuk menjaga citra agar terkesan cerdas, mau tidak mau saya harus ngeles atau memutar-mutarkan masalah ini sampai adik-adik di depan saya ini bingung dan menggeleng-gelengkan kepalanyasampai muntah darah.
Agar bualan saya itu terlihat sedikit berbobot, saya selipkan tentang dongeng-dongeng zaman dahulu ketika gerakan lautan jilbab yang dipimpin oleh Emha Ainun Najib memperjuangkan hak wanita untuk memakai jilbab. Terus apa hubungannya cadar dengan jilbab kak?dengarkan dulu.
Perjuangan Emha Ainun Nadjib dimulai melalui pagelaran teater “Lautan Jilbab” di beberapa tempat, lalu kemudian disertai perjuangan secara legal-formal. Alhamdulillah, semua itu menghasilkan efek positif. Mbak-mbak yang kebanyakan bekerja di berbagai gerai pertokoan di Jogja akhirnya mendapatkan hak mereka untuk berjilbab.
Emha Ainun Nadjib memaparkan, apa yang beliau perjuangkan tersebut tidak melulu karena beliau seorang muslim dan ingin melihat muslimah dapat beragama secara sempurna. Alasannya sederhana saja, Emha Ainun Nadjib menganggap perempuan semestinya bebas menentukan apa yang ingin dia kenakan di tubuhnya.
Untuk itu ketika terjadi larangan kepada perempuan untuk memakai jilbab, dari lubuk hati yang paling dalam Emha Ainun Najib tumbuh rasa untuk memperjuangkan hak perempuan untuk mengenakan jilbab. Beliau juga sempat berkelakar:
“Jangankan ingin memakai jilbab, kalau dari mereka ada yang tak ingin mengenakan pakaian sama sekali tapi ada yang melarangnya, pasti saya akan perjuangkan juga. Sayangnya sampai sekarang belum ada,” ujarnya kala itu, disambut gelak tawa hadirin sekalian yang kebanyakan adalah pemuda-pemuda yang gemar ngopi dan ngerokok di angkringan.
Perkataan itu mengingatkan saya ketika tidak sengaja mengklik foto yang memperlihatkan perempuan bercadar sedang bermain alat musik gitar dilengkapi beberapa sound system di sampingnya. Ketika itu perempuan bercadar tersebut sempat berfoto dengan seorang perempuan yang memakai celana pendek, tetapi tak ada sedikitpun rasa risih yang terlihat dari wajahnya meskipun tertutup cadar.
Hal itu menunjukan bahwa sebenarnya orang bercadar itu juga manusia yang harus terpenuhi haknya sebagai manusia, toh apa yang ditakutkan dengan mereka?
Setelah panjang lebar saya menceritakan tentang banyak hal yang saya kait-kaitkan, sayapun melihat adik-adik saya satu-persatu. Nampaknya, mereka tidak paham tentang apa yang saya ceritakan tadi, entah karena saya yang bicaranya ngalor ngidul ataukah mereka yang memang enggak mudengan dari sononya. Dalam hati kecil sebagai senior, saya harus mencari cara agar mereka terlihat goblok ketimbang saya, dosa hukumnya jika senior terlihat goblok di depan adik-adik. Hehe.
Melihat kondisi yang seperti itu, saya mengambil kesempatan untuk tanya balik kepada adik-adik MABA tadi, sebenarnya apa sihyang kalian takutkan dari orang yang memakai cadar? Tau ndak sih kenapa kampus UIN Walisongo melarang mahasiswinya untuk memakai cadar?
Adik-adik tadi MABA kembali saling toleh kepada teman sampingnya yang resah dengan kebingungan. Yah, aku menang gumamku dalam hati yang telah sukses membuat MABA tadi bingung dengan sendirinya. Hehe.
Memang peraturan larangan untuk bercadar sudah ada sejak sebelum saya kuliah di sini. Namun banyak yang tidak tahu mengapa peraturan itu diberlakukan. Bahkan banyak mahasiswa seangkatan juga ang belum tahu bahkan tidak sadar jika peraturan itu ada. Aneh kan?
Sepertinya dari kampus harus membuat kejelasan peraturan itu beserta alasannya mengapa peraturan itu ada agar semua mahasiswi baik yang bercadar dan tidak bercadar bisa legowo.Jika tidak, ini akan menjadi peraturan yang absurd dan terkesan tidak mewakili sebagian wanita yang ingin bercadar.
Aku yakin seiring semakin banyaknya wanita yang memakai cadar akan membuat saya resah jika ditanyain adik-adik MABA soal hal begituan lagi di generasi berikutnya . Takut dosa saya, takut masuk neraka karena ngawur.
Untuk itu, saya menganjurkan para pejabat kampus agar segera mengkaji tentang peraturan larangan memakai cadar. Jika tidak kenapa ? jika boleh kenapa? Hal ini juga akan membantu saya agar jika ada MABA tanya tentang peraturan memakai cadar, saya bisa menjawabnya dengan pasti, benar dan sesuai tuntunan pak rektor. Hehe.
Walaupun memang terdapat literasi yang menjelaskan hukum dan sejarah adanya cadar, hal itu malah membuat saya yang masih polos unyu-unyu ini semakin resah, pusing karena pandangan yang berbeda-beda. Siapa tau pak rektor punya pandangan dan alasan berbeda tentang berlakunya peraturan larangan memakai cadar di kampus hijau ini.
Pokoknya saya ikut pak rektor, titik! Ditunggu ya, pak. Dear: Kamto.
Penulis : M. Davi Yusuf