SEMARANG,LPMMISSI.COM-UIN Walisongo dalam visi kemanusiaan dan peradaban muwujudkan konstribusinya pada lingkungan melalui green kampus, hal tersebut dapat dilihat pada penerapan efisiensi energi rendah emisi, konsentrasi sumber daya alam, dan meningkatkan kualitas lingkungan.
Program ini diwujudkan melalui Surat Keputusan (SK) Rektor UIN Walisongo Nomor 91 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengelolaan Kampus Ramah Lingkungan. Dalam SK tersebut mengatur larangan merokok, pemangkasan pohon, konservasi energi listrik, pengelolaan sampah, dan transportasi.
Jika kita lihat skor yang didapat dari UI Green Metric, UIN Walisongo mendapatkan skor yang cenderung meningkat setiap tahun. UI Green Metric menilai aspek-aspek lingkungan di kampus berdasarkan penataan dan infrastruktur, energi dan perubahan iklim, limbah dan air, transportasi, edukasi dan penelitian.
Namun, dalam artikel jurnal ilmiah yang berjudul “Evaluasi penerapan Green Campus pada Pemeringkatan UI Green Metric World University Rankings di Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang” ditulis oleh Fajrul Falakh, menyoroti persoalan pengelolaan sampah yang mendapatkan skor yang cukup rendah.
Persoalan pengelolaan limbah di UIN Walisongo secara fasilitas tampaknya telah menyesuaikan dengan SK Rektor tentang Pedoman Pengelolaan Kampus Ramah Lingkungan. Hal ini dilihat dengan adanya tong sampah yang tersedia berdasarkan jenis sampah, lubang biopori, dan Rumah Pengelolaan Limbah.
Namun, tempat sampah yang dikelompokkan berdasarkan jenis di UIN Walisongo tampak tidak efektif. Arief Susila Budi, Mahasiswa Manajemen Haji Umrah (MHU), mengatakan, kebingungan ketika akan membuang sampah anorganik karena tong sampah jenis tersebut penuh.
Ia pun menyoroti penggunaan plastik sekali pakai yang menimbulkan limbah anorganik.
“Penting mana antara meminimalisir sampah daripada hanya menyediakan tong sampah?” ucapnya.
Sementara itu, Rahmat Darmawan Niti Martono, Mahasiswa Pendidikan Agama Islam (PAI), mengatakan, mahasiswa belum memiliki kesadaran untuk membuang sampah berdasarkan jenisnya.
Menurutnya upaya himbauan seperti poster hanya memberikan dampak yang kecil untuk membuang sampah berdasarkan jenisnya. Menurutnya kampus perlu memberi penekanan melalui kebijakan maupun edukasi untuk memilah sampah.Rahmat juga mendukung untuk mengurangi sampah anorganik.
“Memang tidak semuanya harus dilakukan secara langsung, Tidak 100%, Kita perlu melakukan pembahasan atau pembaruan bagaimana kita mengurangi,” ucapnya.
Jadfani Wijaya sebagai Petugas Kebersihan FDK, mengatakan, masih banyak mahasiswa yang membuang sampah sembarangan.Ia terkadang menemukan sampah yang berada di luar tong sampah. Ia pun berharap kesadaran akan kebersihan.
“Jadi, nggak cuman bergantung kepada petugas kebersihannya,” ucapnya Jumat (18/8/2023).
Rumah Pengelola Sampah Bisa Hasilkan Pupuk
Sampah-sampah di berbagai sudut UIN Walisongo akan ditampung di Rumah Pengolahan Sampah Terpadu UIN Walisongo. Rumah pengolahan sampah ini terletak di jalan penghubung Kampus 3 dan Kampus 2. Sampah yang tiba akan dimasukkan ke bak berdasarkan jenisnya, anorganik dan organik.
Adi Saputra, Pengelola Rumah Pengelolaan Sampah Terpadu UIN Walisongo, mengatakan sampah-sampah yang diantar ke rumah pengelolaan sampah seharusnya telah dikelompokkan di fakultas atau unit berdasarkan jenisnya, yaitu anorganik untuk sampah yang tidak dapat terurai dan organik seperti dedaunan. Namun, tidak semua melakukan hal tersebut.
“Kalau di sini memisahkan itu lama,” ucapnya, Jumat (18/8/2023).
Adi pun menjelaskan pengolahan sampah di Rumah Pengolahan Sampah Terpadu UIN Walisongo. Setelah sampah-sampah dikelompokkan, sampah anorganik akan diolah menjadi pupuk.
Sampah organik seperti daun akan digiling. Selanjutnya dimasukkan ke bak penampungan untuk diberi hewan pengurai seperti kumbang tanduk. Pengelola akan mengecek kelembapan tiap baknya.
Limbah organik yang diolah menjadi pupuk bisa digunakan setelah satu bulan. Pupuk yang dihasilkan digunakan di lingkungan UIN Walisongo.
Sementara itu, limbah anorganik belum mengolahnya. Sampah jenis ini akan diangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA) setiap minggunya. Ia pun mengatakan adanya rencana di rumah pengolahan sampah ini mengelola sampah anorganik dengan cara pembakaran sampah tanpa asap.
Rencana pengolahan sampah anorganik menggunakan insinerator (pembakaran tanpa asap), dibenarkan oleh Rusmadi, PIC Pengelolaan Limbah Wegreen UIN Walisongo. Ia mengatakan pengolahan sampah anorganik yang tidak memiliki nilai ekonomi dengan insinerator ialah bagian dari inovasi yang bisa membedakan dengan masyarakat pada umumnya. Namun, hal ini terkendala dengan anggaran untuk pengadaan.
Selain itu, Rusmadi juga menjelaskan adanya limbah yang belum bisa diolah oleh UIN Walisongo, yaitu limbah sisa makanan yang berasal dari kantin dan ma’had.
“Sebenarnya termasuk organik tetapi tidak bisa dikelola dengan cara biasa karena campur lemak, campur semua,” ucapnya, Jumat (25/8/2023).
Ia menuturkan persoalan ini memiliki solusi dengan menjadikan pakan hewan ternak unggas. Namun, solusi ini belum bisa terlaksana karena tidak memungkinkan kampus memelihara hewan ternak atau mengantarkan kepada masyarakat yang beternak. Selain itu, persoalan limbah sisa makanan memerlukan tenaga untuk pengolahan.
Kurangnya Kesadaran Jadi Penghambat Wegreen UIN Walisongo
Rusmadi tidak mengelak jika kesadaran mahasiswa, dosen, pegawai, dan tenaga kebersihan menjadi hambatan soal pemilahan sampah.
“Sebaik apapun kalau kemudian warganya juga tidak awareness itu gagal juga,” ucapnya.
Wegreen UIN Walisongo pernah melakukan pendekatan dengan adanya Duta Lingkungan UIN Walisongo. Menurutnya hal ini relatif berhasil. Namun, saat ini soal lingkungan juga diberikan kepada Ambasador UIN Walisongo yang memiliki literasi lingkungan yang baik.
“Tetapi di sisi lain Ambasador menjadi banyak orientasinya,” ucap Rusmadi.
Menurutnya perlu pendekatan lain untuk membangun kesadaran lingkungan dengan reward dan punishment. Namun, belum pernah dipikirkan soal ini.
Wegreen UIN Walisongo pun pernah memiliki program Wegreen Faculty Award. Program ini memberikan penghargaan kepada fakultas yang memiliki inovasi yang mendukung green campus. Namun, program ini memiliki hambatan terkait luas dan jumlah mahasiswa yang berbeda-beda. Program ini juga tidak terlaksana pada tahun 2022 setelah dua tahun berlangsung. Hal ini disebabkan ketakutan akan menyedot anggaran yang menunjang akademik.
Selain kesadaran, hambatan juga datang dari kelembagaan. Wegreen UIN Walisongo masih lemah dalam hal memaksa mahasiswa, dosen, dan pimpinan di UIN Walisongo untuk peduli terhadap lingkungan.
“Kami ingin kampus dikelola dengan green, mahasiswa menjadi nyaman, warga kampus juga jadi nyaman, otomatis akademik juga terdorong,” pungkas Rusmadi.
REDAKSI