LPMMISSI.COM – Indonesia adalah negara dengan kekayaan alam yang tidak ada duanya terutama di desa, dengan didukung tanah yang begitu subur, semua jenis tanaman bisa tumbuh dengan baik dan berlimpah. Tak heran jika dalam lirik lagu berjudul kolam susu karya musisi koes plus, disebut bahwa “tanah kita tanah syurga tongkat dan batu jadi tanaman”.
Memang apa yang disebut koes plus tidaklah salah karena begitu banyak kekayaan alam Indonesia yang telah menghidupi berjuta rakyat Indonesia, dari berbagai paceklik pangan maupun ekonomi. Namun sayang kekayaan alam yang berlimpah tidak diikuti dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang cukup. Akhirnya kekayaan alam tidak bisa digunakan secara cerdas oleh masyarakat, terutama yang berada di desa.
Sebagai contoh petani di desa umumnya belum bisa mengoptimalkan kekayaan alam sebagai sumber penghidupan. Bisa dibayangkan di era dimana kapitalisme tumbuh subur, masyarakat desa masih berproduksi dengan kualitas dan kuantitas yang rendah. Sehingga hasil pertanian di desa pun hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari, Dimulai dari rendahnya pengetahuan mengenai pertanian sampai pada minimya peralatan, ditambah pola pikir mereka yang belum melek pengetahuan sehingga para tengkulak bisa mempermainkan harga seenaknya.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut bahwa, indeks kedalaman kemiskinan naik dari 1,84 % pada September 2015 menjadi 1,94 % di bulan Maret 2016. Berangkat dari data tersebut diduga masyarakat makin jatuh pada jurang kemiskinan. Sementara itu, indeks kemiskinan secara nasional juga meningkat dari 0,51% naik menjadi 0,52%. Di desa, angkanya lebih tinggi, karena indeks kemiskinan naik menjadi 0,79 dari 0,67 (Pikiran Rakyat, 2017).
Petani Indonesia seakan mengalami culture shock ketika era industri semakin maju, mereka masih belum bisa meninggalkan budaya pertanian lama yang masih bersifat tradisional untuk berubah menjadi pertanian modern, demi meningkatkan produktifitas hasil tani. Petani di Indonesia saat ini masih tergolong peasantatau petani yang bisa dibilang melarat karena hasil pertaniannya yang sangat minim, belum menjadi farmerlayaknya petani di negara maju yang hasil pertanian begitu melimpah dengan berbagai alat pertanian yang semakin maju.
Namun sebenarnya menjadi petani peasant atau farmer tersdapat sisi positif dan negatifnya.Jika petani kita menjadi peasant, otomatis secara perekonimian petani akan rendah namun tidak akan terjadi eksploitasi alam. Sementara tingkat persaudaraan antar petani tidak akan retak, karena tidak akan terjadi subordinasi dan persaingan.
Sementara jika menjadi farmer tingkat perekomian akan meningkat, namun disitu terjadi sebuah subordinasi antara tuan tanah dengan buruh tani. Yang memungkinkan terciptanya kaum borjuis dan proletar didesa seperti layaknya di kota. (Luqman Sulistiyawan)