

Judul buku: Pulang
Penulis: Leila Salikha Chudori
Tahun terbit: 2012
Kota terbit: Jakarta
Cetakan pertama: Desember 2012
Cetakan kedelapan belas: November 2021
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal halaman: vii+461
ISBN: 978-602-424-275-6
Pulang merupakan salah satu novel karya Leila Salikha Chudori yang bernuansa perjuangan para eksil politik melawan pemerintah otoratif berlatar 1965. Leila adalah perempuan kelahiran Jakarta yang menempuh pendidikan di Trent University, Kanada. Sejak usia 12 tahun ia telah mempublikasikan karyanya di berbagai media. Dan pada 1989, Leila melahirkan buku pertamanya, kumpulan cerpen Malam Terakhir dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Jerman Ie Letzte Nacht (Horlemman Verlag).
Tahun 2012, Leila berhasil menerbitkan Novel Pulang. Kini, novel tersebut telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, diantaranya bahas Inggris (Home), Prancis (Retour), Belanda (Naar Huis), Jerman (PULANG, Heimkehr nach Jakarta), dan Italia (Ritorno a Casa). Novel ini berhasil memenangkan nominasi Prosa Terbaik Khatulistiwa Award 2013 dan dinyatakan sebagai satu dari “75 Notable Translations of 2016 oleh World Literature Today”.
Novel Pulang berkisah tentang para tahanan eksil politik yang bertahan hidup di negeri orang, Paris. Diawali dengan prolog yang berjudul Jalan Sabang, Jakarta, April 1968. Novel Pulang dibagi menjadi tiga sub-bab sebagai berikut: Dimas Suryo (Paris, Mei 1968, Hananto Prawiro, Surti Anandari, Terre D’Asile, Empat Pilar Tanah Air), Lintang Utara (Paris, April 1998, Narayana Lafebvre, L’Irreparable, Ekalaya, Vivienne Deveraux, Surat-Surat Berdarah, Flaneur), dan Segara Alam (Sebuah Diorama, bimo Nugroho, Keluarga Aji Suryo, Potret yang Muram, Mei 1998) lalu ditutup dengan epilog berjudul Jakarta, 10 Juni 1998.
Novel karya Leila Chudori ini berisi sejarah kelam Indonesia di tahun 1965, paska peristiwa G/30/S/PKI. Cerita bermula dari pencarian seorang redaktur di Kantor Berita Nusantara, Hananto Prawiro yang dianggap berpihak pada kelompok kiri. Ia menjadi salah satu orang dari sekian daftar nama yang diburu. Ideologi dari beberapa redaktur dan wartawannya dianggap membahayakan kedaulatan pemerintah saat itu. Terbukti, beberapa wartawan Kantor Berita Nasional meemang pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pada masa itu dipandang sangat berbahaya oleh pemerintah.
Kantor Berita Nusantara yang terletak di Jalan Asem Lama seolah menarik garis demarkasi antara pemerintah dan mereka yang bekerja sama dan simpati terhadap PKI. Termasuk yang bergiat dan berinteraksi dengan seniman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), sebuah organisasi kebudayaan sayap kiri di Indonesia yang dianggap terlarang pada saat itu.
Novel ini juga menceritakan tokoh yang juga penting seperti Dimas Suryo, Risjaf, Nugroho, Tjai yang berkebangsaan Thionghoa lalu ada Aji Suryo, Bang Amir, Surti Anandari, Vivienne Deveraux, Lintang Utara, Segara Alam, Narayana Lafebvre, dan lainnya.
Novel ini lebih menyoroti kisah Dimas Suryo beserta ketiga temannya yang dijuluki dengan sebutan empat pilar. Mereka adalah para tahanan politik (tapol) yang tidak bisa pulang ke Indonesia karena label eksil politik yang disandangnya.
Dalam pelarian, kehidupan keempat pilar itu selalu diterpa kegelisahan, pasalnya mereka meninggalkan keluarga, sahabat dan pasangan di negeri sendiri yang keadaannya sedang kacau. Penangkapan para anggota PKI dan keluarganya yang kemudian diinterogasi, disiksa hingga dieksekusi mati membuat rontok hati Dimas dan ketiga rekan sejawatnya. “Sesuai dengan sejarah: jenderal yang diseret dan disiksa, lalu dicemplungkan ke dalam Lubang Buaya. Dan itulah salah satu Partai Komunis Indonesia. Juga salah keluarga PKI dan saudara-saudara PKI. Termasuk anak-anak keluarga PKI yng baru lahir atau bahkan yang belum lahir tahun 1965. Semua dianggap berdosa”.
Meski Paris telah menjadi tempat mereka bermukim selama berpuluh tahun belakangan. Nyatanya, mereka tetap rindu tanah air. Mereka teringat keluarga yang ada di tanah air, apakah masih baik-baik saja? Hidup dengan penuh tekanan dan selalu merunduk dari pemerintah. Demokrasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kekuasaan pemerintah yang otoritatif membuat mereka semakin kesal dengan keadaan yang terjadi. Bahkan kebijakan pemerintah juga berdampak bagi kehidupan para eksil politik. Karena ditetapkannya syarat bagi orang-orang yang ingin bekerja di kabinet, BUMN, tentara dan guru harus memenuhi syarat bersih diri dan bersih lingkungan. Ditengah gempuran tersebit Dimas yang lihai mengolah masakanya memutuskan mendirikan restoran Tanah Air di Paris bersama para empat pilar.
Selain mengangkat pembahasan mengenai perjuangan di negeri orang, novel ini juga memuat kisah romantika di antara para tokohnya. Seperti kisah Dimas Suryo dengan Vivienne, Hananto & Surti, Nugroho & Rukmini, Narayana, Segara Alam dan Lintang, serta beberapa tokoh lain.
Novel ini sangat direkomendasikan untuk dibaca, terlebih lagi latar waktu yang mengangkat masa sejarah G/30/S/PKI mampu memberikan pandangan dan wawasan baru terhadap sejarah yang sebenarnya terjadi pada saat itu. Leila mampu menuliskan kejadian sejarah itu dengan runtut dan jelas. Bahkan pembaca bisa mampu merasakan kesedihan, kebahagiaan dan kegelisahan yang terjadi pada tokoh-tokohnya. Berkat pengemasan cerita yang begitu apik, pembaca jadi selalu ingin tahu jalan cerita dari novel itu. Ilustrasi yang disertakan juga memberikan efek visual yang nyata. Sampul buku sederhana tetapi menarik.
Tidak ada hal yang sempurna di dunia, sama halnya dengan karya Leila. Novel ini hanya dianjurkan dibaca oleh remaja berusia 17 tahun ke atas. Beberapa adegan yang diperankan tokoh memang mengandung unsur percintaan dewasa, sehingga memang tidak cocok dibaca oleh anak-anak. Selain itu, alur cerita campuran juga akan membuat para pembaca bingung jika tidak fokus. Beberapa bahasa asing seperti Prancis & Inggris yang tidak disertai dengan keterangan juga menjadi kelemahan dalam karya ini, karena tidak semua pembaca paham dengan kedua bahasa tersebut.
Resentator: Mafriha Azida
Tinggalkan Balasan