Press ESC to close

Pro Kontra Permenristekdikti No 55 Tahun 2018

WhatsApp%2BImage%2B2018 11 08%2Bat%2B19.36.11

Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 55 tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi Bangsa yang disahkan pada 29 Oktober 2018 oleh Muhammad Nasir, menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat, khususnya akademisi dan aktivis mahasiswa.

Pada awalnya, permenristekdikti No.55 lahir sebagai upaya pemerintah dalam meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang ideologi bangsa dan mampu menekan paham-paham intoleran dan radikalisme di kampus. Peraturan ini juga menjelaskan bahwa perguruan tinggi wajib memberikan pembinaan kebangsaan bagi semua mahasiswa dan mahasiswa bebas melakukan kaderisasi tapi tidak berunsur radikalisme.

Dengan diberlakukannya permenristekdikti yang membolehkan organisasi ekstra masuk ke dalam kampus secara otomatis menggugurkan Surat Keputusan (SK) Dirjen pendidikan tinggi departemen pendidikan nasional nomor 26/DIKTI/KEP/2002 tentang pelarangan organisasi ekstra kampus atau partai politik dalam kehidupan kampus. Meskipun demikian terdapat batasan terkait hal tersebut yakni organisasi ekstra tidak boleh membawa bendera atau atribut apapun yang melambangkan simbolnya ke dalam kampus.

Melihat perkembangan organisasi gerakan mahasiswa di Indonesia, penguatan ideologi dan perang pengaruh masing-masing organisasi masih kentara dalam upaya penghidupan estafet kepemimpinan internal mereka. Dengan diberlakukannya permenristekdikti ini diharapkan mampu menggugurkan dominasi organisasi tersebut dan menghilangkan budaya dominasi hanya dari salah satu organisasi ekstra saja.

Selain itu, kampus diharapkan menjadi ruang terbuka dan kaya akan kegiatan diskusi ideologis. Karena selama ini obrolan tentang penguatan nilai-nilai pancasila hanya menjadi obrolan underground saja, keterbatasan partisipasi secara sentralistik belum didapatkan mahasiswa sebelumnya. Maka mahasiswa harus mampu mengamini i’tikad baik peraturan ini dengan menumbuhkan iklim melek politik dan menjadi penguat ideologi kebangsaan di tengah-tengah mahasiswa.

Bentuk penerapan permenristekdikti pada akhirnya akan dibentuk sebuah lembaga yang diberi nama Unit Kegiatan Mahasiswa – Pengawal Ideologi Bangsa (UKM-PIB) yang terdiri dari kumpulan organ mahasiswa termasuk juga organisasi ekstra. Timbul sebuah permasalahan baru yakni bagaimana pihak kampus bisa menyamakan persepsi antar badan organ mahasiswa agar bisa berjalan beriringan, sementara latar belakang yang mereka bangun berbeda bahkan berseberangan, bukankah hal ini akan menimbulkan konflik baru yang berbau antar kepentingan golongan.

Pemerintah perlu menaruh sikap kewaspadaan untuk mengantisipasi timbulnya potensi polarisasi oleh kelompok tertentu. Mengingat budaya politik yang dijalankan kampus belum menjadi politik yang sehat, masih diselipi dengan asas kekuasaan yang berorientasi pada menang dan kalah bukan pada baik dan buruk.

Jika ditelaah secara seksama, narasi yang dibawa peraturan ini cenderung mirip dengan narasi pada masa orde baru (orba) dahulu, yakni pemberlakuan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kampus (BKK) yang mengembalikan secara fungsional mahasiswa ke kampus. Kekhawatiran kala itu muncul karena gerak mahasiswa dalam mengkritisi pemerintah cukup membahayakan stabilitas negara, maka pengembalian para mahasiswa ke dalam lingkungan kampus menjadi aturan pengekangan yang bersifat substansif.

Pemberlakuan permenristekditi ini seolah memiliki spekulasi bahwa pemerintahan ingin mengembalikan mahasiswa agar sibuk dengan permasalahan seputar kampus dan melupakan kritik kepada pemerintahan. Euforia yang bertajuk kebebasan mungkin hanya akan menjadi kebebasan semu yang menjebak, pemerintah melalui rektor disetiap universitas melakukan pengawasan dan kontrol yang substansinya cenderung pengekangan. Tanpa sadar ruang berpikir para aktivis organisasi akan terbatasi dengan peraturan tersebut.

Aturan semacam ini sepertinya hanya cara pemerintah agar bisa mengontrol organisasi mahasiswa. Pemerintah seolah menjadi penafsir tunggal ideologi di kampus. Jangan sampai terjadi kembali pelarangan diskusi dalam ranah akademik, jangan pula terjadi banyak intervensi dari pemerintah kepada kampus. Atas nama kebebasan akademik, tidak boleh ada pelarangan diskusi apapun yang dilakukan di kampus, Karena kampus adalah tempat berkembangnya pemikiran-pemikiran yang dihasilkan dari kajian dan riset.

Mengutip pemikiran M. Hatta bahwa perguruan tinggi itu memiliki dua fungsi utama, yakni menumbuhkan sense of crisis dan pengembangan. Sense of crisis merupakan sikap kepekaan dan kepeduliaan terhadap suatu peristiwa, untuk mencapai kepekaan tersebut mahasiswa perlu mengikuti watak ilmu yakni selalu mencari pembenaran-pembenaran atas sesuatu. Sementara pengembangan adalah proses kajian yang kemudian menentukan sikap seorang mahasiswa dalam menentukan pilihan.

Maka, dengan disahkannya permenristekdikti no 55 tahun 2018, masih banyak pihak yang memiliki spekulasi berlawanan, apakah memang ini merupakan jalan terbaik untuk mengembangkan iklim demokrasi dalam kampus? atau ini justru menjadi perampasan ruang gerak bagi mahasiswa? mungkinkah ini akan kembali sama seperti pemberlakuan NKK/BKK dahulu? atau memang sebagai babak baru bagi mahasiswa khususnya organisasi ekstra kampus untuk bisa membuat ruang diskusi yang lebar dalam kehidupan kampus? Pikirkanlah dan mari merenung bersama.

Penulis: Aditia Ardian
Editor: Hijriyati Nur Afni

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

@Katen on Instagram
[instagram-feed feed=1]