SEMARANG, LPMMISSI.COM — Wakil Rektor 1 UIN Walisongo Semarang, Muhsin Jamil menyampaikan bahwa, saat ini pendapat dari seseorang yang viral dapat lebih dipercaya daripada perkataan dari seorang pakar. Pernyataan tersebut disampaikannya ketika mengisi seminar Civic Morality yang diadakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) pada Selasa (4/11) di gedung Teater Rektorat, kampus 3 UIN Walisongo.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa era keterbukaan zaman, di mana teknologi menjadi fasilitas yang sudah digunakan oleh banyak orang dan produksi informasi begitu melimpah ternyata tidak membuat orang berpikir lebih bijak. Orang-orang justru berpikir dangkal. Menurutnya, hal ini dikarenakan adanya kerusakan fisik dan intelektualisme, di mana penggunaan ponsel yang membuat seseorang terus membungkuk serta tradisi membaca yang tidak diperdalam. Akhirnya, tidak ada waktu untuk menelaah atau merenungi informasi yang didapat.
“Zaman sekarang, banyaknya informasi malah justru hanya dinikmati saja tanpa dieksepresikan,” ucapnya.
Ia mengungkapkan bahwa matinya kepakaran karena adanya media sosial. Media sosial membuat opini setiap orang setara dengan kepakaran. Bahkan, pendapat semua orang dapat menjadi rujukan asalkan viral, sehingga seseorang menganggap pakar dan data tidak lagi penting. Dunia kepakaran yang dihasilkan dari kursus, pengalaman akademik, dan riset kini tidak menjadi rujukan utama bagi generasi saat ini untuk memecahkan banyak hal.
Baca juga: Arus Membawa Duka, Mengenang 6 Korban Tragedi Sungai Singorojo
“Yang paling memprihatinkan adalah hancurnya otoritas ilmiah akibat dominannya opini-opini publik yang viral. Saya yakin anda lebih suka melihat TikTok atau You Tube dan menjadikannya perbincangan dengan temen-temen semua, ” ujarnya.
Lebih lengkapnya, ia menjelaskan bahwa era semacam ini tidak datang tiba-tiba. Menurutnya, ada empat penyebab, yaitu:
1. Adanya demokrasi ilmu pengetahuan, di mana keterbukaan zaman dan fasilitas teknologi membuat ilmu pengetahuan dapat diakses dengan mudah. Akhirnya, siapa saja dapat berpartisipasi dalam ilmu pengetahuan.
2. Adanya media sosial yang menciptakan ruang bagi semua orang, sehingga seseorang dapat dipandang menjadi ahli dengan mudah melalui pemanfaatan media sosial secara konsisten.
3. Bias yang dihasilkan oleh algoritma. Apa yang hadir di gadget itu merupakan hasil dari klik yang digunakan, maka seterusnya akan muncul hal yang serupa. Jadi, apa yang dikonsumsi itu bukan kebenaran tapi sebuah kebiasaan dalam menggunakan teknologi.
Baca juga: UIN Walisongo Tarik Mahasiswa KKN, DEMA Gelar Aksi Solidaritas Pasca Tragedi Kendal
4. Krisis kepercayaan terhadap dunia akademik. Reputasi akademik dari institusi akan diukur kontribusinya di ilmu pengetahuan dengan melalui jurnal.
Dampak sosial dan akademik dari hal tersebut adalah meningkatnya hoax dan pseudoscience, kemudian disorentiasi akademik di mana publik lebih percaya pada influencer daripada akademisi.
“Nampaknya ketika ingin didengar tidak hanya menggunakan identitas akdemisi tapi harus ngartis, ngonten gitu ya” pungkasnya.
Penulis: Nuril Baiti Amiliah
Editor: Muhammad Hasan