Buy now

31 C
Semarang
Jumat, Maret 29, 2024
spot_img

Tragedi 65 & Cinta-Benci Yang Beda-Beda Tipis

Dok. Repro Lpm. Missi
“Tahukah kamu pekerjaan paling sia-sia di muka bumi? Menasihati orang yang sedang jatuh cinta.”

Qoute dari Sujiwo Tedjo itu penulis rasa ada betulnya juga. Bahkan sebuah anonim mengatakan saat cinta sudah melekat, ‘pup’ kucing akan terasa cokelat. Sebab hanya keindahan dari sang pujaan hati yang nampak dan terpampang nyata (meminjam istilah Princes Syahrini) di mata orang-orang yang sedang jatuh cinta. Jadi mau menyadarkan dengan cara apapun, niscaya tidak akan mempan. Kecuali, datang padanya hidayah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Aamiin.

Sebagai seseorang yang statusnya sedang beropini, rasanya sah-sah saja apabila penulis menggeneralisir kalimat mutiara milik Presiden Republik Jancukers itu agar tidak hanya ditujukan bagi orang-orang yang sedang dilanda asmara, melainkan di dalamnya yang sedang dipenuhi dengan kebencian. Mengingat masyarakat Indonesia juga seringkali ‘dicekoki’ lewat serial-serial FTV  dan lagu-lagu band kekinian berkaitan dengan pemahaman cinta dan benci itu beda-beda tipis. Bermusuhan lalu pacaran, kemudian putus hingga enggan berteman sampai jadi musuh bebuyutan.

Kemudian perbincangan soal cinta dan benci di atas mari kita bersama hadirkan di bulan September ini. Di mana pada bulan ini, terutama di penghujungnya, isu seksis seputar komunis hampir tidak pernah luput dari perhatian. Penulis mengamati, siapapun yang membincang isu komunis dan eksistensi PKI akan selalu terpecah menjadi tiga kubu. Pertama, kubu segelintir orang yang setuju bahwa PKI dan paham komunis yang dianut merupakan momok yang menakutkan ibarat hama mematikan yang harus dibasmi secara cepat. Kubu ini penulis kategorikan sebagai orang-orang yang begitu membenci PKI dan mencintai pemerintah (kala itu).

Kebencian yang terlanjur dalam selanjutnya dapat mengakibatkan seseorang terindikasi paranoid. Apapun yang berhubungan dengan sesuatu yang dibenci, meski hanya aromanya akan dilibas habis dan dianggap sebagai sebuah pengkhianatan terhadap pemerintah dan sejarah. Contohnya bisa kita lihat ketika pekan lalu terjadi pembubaran paksa diskusi pelurusan sejarah 65 dan pengepungan massa di depan gedung YLBHI.

Kubu kedua adalah segelintir orang yang amat konsen ingin meluruskan sejarah dan membela hak-hak ‘korban’ dari ‘kenakalan’ rezim orde baru yang dianggap telah memutarbalikkan fakta masa lalu. Kubu kedua ini melihat tragedi 1965 sebagai kejahatan kemanusiaan terkeji yang dilakukan pemerintah Indonesia. Mereka sering juga menamakan diri sebagai pembela hak asasi manusia. Sampai-sampai persoalan pemutaran film G30S PKI rasanya seperti ancaman yang akan membutakan pandangan masyarakat sehingga perlu diskusi yang serius untuk menghalau program yang notabenya adalah ide aparat pemerintah. Dan salut! Media massa setiap tahunnya berhasil menjelma menjadi arena pertempuran dua kubu pertama dari tiga kubu yang berhubungan dengan PKI dan Komunis tersebut.

Sementara kubu ketiga, satu-satunya kubu yang inginnya adem-ayem-tenterem, lebih kepada penganut paham yang lalu biarlah berlalu dan narimo ing pandum. Cukup mengejutkan penulis, ketika salah satu penganutnya ialah  Menkum HAM yang tergambar dalam pernyataannya di sebuah berita di media online.

” Isu komunis  jangan dibuat menjadi permainan politik. Jadi rakyat sudah capek lah,”
” Biarlah, saya kira masyarakat sudah dewasa melihat sejarah. Sudah sangat dewasa melihat fakta-fakta yang ada. Saya kira masyarakat kita sudah dewasa,”
(Dikutip dari berbagai sumber).

Tidak hanya berusaha positif thinking, Opa Yasonna Laoly juga nampak mengimbau pihak-pihak yang berada di belakang isu PKI untuk mengerjakan hal-hal yang lebih positif ketimbang sibuk mengurusi persoalan pemutaran film dan pembubaran diskusi.

Melihat hiruk-pikuk gegerisasitentang kebenaran yang sebenar-benarnya dari tragedi 1965 telah memunculkan pertanyaan di benak penulis, apakah betul ada kebenaran mutlak dalam sejarah? Seandainya keterangan atau pendapat dari pelaku sejarah dijadikan satu-satunya pedoman, tidak menutup kemungkinan keterangan dari pelaku sejarah tersebut merupakan pandangan subjektif. Namanya juga manusia, pendapatnya yang disampaikan bergantung dari perspektif yang digunakan.

Penulis hanya berpesan kepada kubu-kubu yang mencintai sekaligus membenci sejarah seputar tragedi 1965 untuk berhati-hati dalam mengelola perasaan. Sebab kembali penulis ingatkan, cinta dan benci itu beda-beda tipis. Sangat tipis. Bedanya hanya terletak pada muatan yang terkandung di dalamnya. Jika pembaca pernah belajar tentang atom. Atom selalu memiliki tiga muatan. Proton (positif), elektron (negatif), dan neutron (netral). Orang yang mencintai bermuatan positif sebagai proton, adapun yang membenci bermuatan negatif sebagai elektron.

Jika bedanya tipis? Berarti persamaannya tebal? Yup, cinta dan benci sama-sama tebal. Persamaanya, orang yang memilih untuk mencintai ataupun membenci akan sama-sama tebal perhatiannya kepada apa yang ia cinta dan benci. Tidak percaya? Buktikan saja.

(Korie Khoriah)

baca juga

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0PengikutMengikuti
3,609PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

terkini