Buy now

26.9 C
Semarang
Kamis, April 25, 2024
spot_img

Sebuah Seni Memahami Perempuan, Bingkai Patriarki dalam Sosio-Ekologis

courtesey : https://pixabay.com/id/photos/beras-perempuan-duduk-panen-1807547/

Tuhan menciptakan keseimbangan dalam hidup. Begitupun dengan alam yang berisikan tanah, air, udara, dan kehidupan menjadi terikat satu sama lain. Penjelasan ini tertera dalam bidang ilmu ekologi, yang membahas tentang interaksi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup yang lainnya. Beitu juga dengan manusia, yang tercipta sebagai pelaku sosial.

Keseimbangan itu terbentuk dari terciptanya dua jenis manusia yang berbeda, yakni perempuan dan laki-laki. Perbedaanya terletak dari segi biologis yang melekat secara kodrati diantara keduanya. Hanya saja dalam tatanan masyarakat membuat perbedaan itu menjadi beberapa segi yang lain. Seperti perbedaan hak, kesempatan, kebudayaan, dan masih banyak lagi. Sehingga memicu terjadinya timpang tindih ketidak adilan salah satu pihak.

Permasalahan ketidak untungan ini tentunya menimpa sosok yang lemah. Sedangkan yang kerap dijadikan korban adalah perempuan itu sendiri. Mengapa itu bisa terjadi?

Baca Juga : Manusia Dalam Sebuah Simulasi

Adanya budaya patriarki melahirkan sebuah pandangan bahwa perempuan menjadi manusia kelas dua dalam tatanan sosial. Tidak hanya itu, perempuan juga dinggap menjadi kaum inferior–subordinat dari kaum laki-laki.

Hal ini mengakibatkan adanya keterbatasan perempuan dalam menjalankan perannya dalam masyarakat sosial. Karena pola pikir masyarakat yang telah terbentuk, bahwa perempuan selalu diidentikkan dengan sektor domestik. Bahkan dalam manuskrip Jawa kuno, Serat Paniti Sastra berbunyi , Wuwusekang wus ing ngelmi/ kaprawolu wanudyo lan priyo/ Ing kabisan myang kuwate/ tuwin wiwekanipun/. Yang memiliki maksud, wanita hanya seperdelapan dibanding pria dalam hal kepandaian dan kekuatan serta kebijaksanaanya.

Pandangan di atas mengejewantahkan adanya hak istimewa (privilege) untuk kaum laki-laki. Oleh karenanya, lahirlah gerakan baru pendobrak patriarki seperti feminisme. Marry Wallstonecraff, memaknai feminisme sebagai gerakan emansipasi wanita dan menolak keras adanya ketimpangan gender.

Gerakan feminisme tidak hanya menitikberatkan pada kesamaan gender, namun juga berkaitan dengan keseimbangan alam. Bagi sebagian orang pasti telah mendengar adanya paham ekofeminisme. Yakni paham yang membahas perempuan dan alam semesta terkait ketidakadilan dan ketidakberdayaan perlakuan terhadap keduanya.

Baca Juga : Reinkarnasi, Perempuan dan Pelecehan Seksual

Bumi kerap dijadikan simbol ibu pertiwi, dengan sifat ibu sebagai perempuan yang memiliki kasih sayang dan kelembutan. Sedangkan patriarki sebagai bentuk kapitalisme yang brutal menghancurkan keberlangsungan hidup alam. Sikap rakus manusia mengeksploitasi besar-besaran paham patriarki memaksakan pasifnya mekanisme alam. Sehingga pengejawantahan ini diibaratkan feminisme yang sengaja dimatikan.

Padahal perbedaan tercipta bukan dijadikan perbedaan terbentuk, bukanlah hal nafi yang justru menciptakan ketidaksetaraan. Sama halnya yang dikemukakan oleh Sachiko Murrata bahwa Tuhan telah menciptakan perbedaan (diversity) serupa dengan filosofi China tentang entitas unsur yin (feminim) dan yang (maskulin). Sedangkan dalam agam Islam sudah dijelaskan dalam Surat Al-Hujurat ayat 13, yang mana Allah telah menciptakan manusia dari seorang laki-laki dan perempuan, disertai perbedaan, yang menjadi tolok ukur manusia di hadapan-Nya ialah ketakwaannya.

Sudah menjadi semestinya nilai equalitas antar manusia terbentuk, bukan menjadi sarana untuk menciptakan perpecahan dalam kehidupan.

Penulis : Mafriha Azida

baca juga

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0PengikutMengikuti
3,609PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

terkini