SEMARANG, LPMMISSI.COM – Beberapa pekan ini Indonesia mengalami krisis yang luar biasa. Mulai dari ibu-ibu, pedagang gorengan, mahasiswa, dan barangkali seluruh warga dibuat kesusahan. Ya betul, tak sulit menebak apa krisis tersebut jika menyebut-nyebut pedagang gorengan, tak lain ialah minyak goreng yang langka di pasaran. Banyak yang resah karena tidak bisa memasak untuk diri sendiri, untuk keluarga ataupun untuk berjualan. Orang-orang rela antri bahkan berebut ketika mendengar informasi ada minimarket, supermarket, dan pasar tradisional yang menjual minyak goreng, tak perlu waktu lama semua akan habis terjual.
Sungguh lucu minyak goreng langka di negeri ini, padahal Indonesia dikenal sebagai penghasil kelapa sawit terbesar di dunia mengalahkan negara tetangga Malaysia. Klaim Kemendag untuk produksi pasokan dalam negeri sendiri sudah aman. Sebesar 415,78 ton minyak goreng atau sekitar 78% dari DMO (Domestic Market Obligation) yang sudah terkumpul, sudah dipastikan memenuhi kuota konsumsi penggunaan masyarakat yang hanya 327,32 ton perbulannya.
Kelangkaan minyak goreng di pasaran terjadi setelah pemerintah menetapkan HET (Harga Eceran Tertinggi) untuk minyak goreng sebesar Rp.11.000 untuk minyak goreng curah, Rp. 13.000 untuk minyak goreng sederhana, dan Rp, 14.000 untuk minyak goreng premium, yang berlaku sejak tanggal 1 Febuari 2022. Jika dilihat, harga yang ditawarkan pemerintah ini sungguh amat sangat baik bagi masyarakat, ketimbang harga minyak goreng tahun lalu yang mencapai Rp. 19.000 hingga Rp. 24.000.
Banyak spekulasi bermunculan tentang penyebab kelangkaan ini, dari bahan baku yang katanya sulit, kenaikan harga minyak sawit mentah di pasar global, minyak goreng diekspor keluar negeri secara ilegal, perang Ukraina dan Rusia, pandemi Covid 19, dan paling masuk akal yaitu ada oknum-oknum yang mengganggu jalur distribusi minyak goreng atau menimbunnya.
Kebijakan yang diambil pemerintah tentunya sangat tepat, mereka berpikir sebagai produsen terbesar seharusnya bisa untuk tidak mengikuti peraturan global, dan menciptakan peraturan sendiri demi menguntungkan rakyatnya, namun tak semua pihak setuju dengan hal itu. Sebelumnya pemasok, produsen, bahkan pedagang lebih diuntungkan tanpa adanya HET terbaru ini. Bisa jadi ada para penimbun baru yang bermain-bermain agar mendapatkan keuntungan lebih dari kelangkaan minyak goreng. Jika barang langka maka harga akan naik, itu yang mereka pikirkan. HET yang ditetapkan seakan tak berlaku, bahkan harga minyak goreng bisa menembus Rp. 70.000 di Sulawesi.
Anehnya lagi partai-partai politik bisa menggelar pasar minyak goreng murah , mereka seakan-akan hadir untuk menjawab persoalan rakyat, Sejatinya hanya mencari nama. Apa mereka tidak berpikir akan memicu opini netizen yang kritis, darimana mereka mendapatkan stok minyak goreng tersebut. Apapun alasannya, kelangkaan minyak goreng ini tentunya harus segera diatasi dan diselesaikan oleh pemerintah, sehingga masyarakat tak perlu lagi merugi.
Jika memang ada penimbunan yang dilakukan oleh siapun itu, kelompok besar ataupun perorangan, pemerintah harus bertindak tegas menghukum pelaku, karena pada dasarnya mereka juga menentang peraturan pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya. Tapi jika HET yang menguntungkan masyarakat ini dicabut maka pemerintah kalah dengan para produsen yang telah mempermainkan mereka. Produsen tidak rela jika minyak goreng premium mereka hanya dihargai sebesar Rp.14.000 saja.
Jika sudah begitu mungkin saatnya kita lebih memperhatikan makanan yang dikonsumsi. Mengurangi makanan yang berminyak dan beralih ke jenis yang lebih sehat, dengan metode teknik pengukusan. Teknik ini dikenal sebagai cara terbaik untuk mengolah makanan, karena gizi yang terbuang dari bahan makanan hanya sedikit daripada teknik masak lainnya. Atau menggunakan teknik lain karena pada dasarnya jenis kuliner kita dan cara pengolahannya sangat beragam tidak selalu bergantung pada minyak goreng.
Meskipun begitu apapun alasan kelangkaan diatas dan sudah dekat dengan bulan Ramadan, diharapkan salah satu bahan pokok ini sudah bisa mudah ditemukan di pasaran, apalagi dengan HET yang telah ditetapkan pertanggal 1 Febuari tersebut. Setidaknya akan meringankan beban rakyat karena bahan pokok lain kemungkinan akan naik.
Penulis: Reza Wibisono
Editor: Sri Mulya