Buy now

34 C
Semarang
Sabtu, Maret 30, 2024
spot_img

Pilpres 2019, Nalar Machiavelli Hingga Post Truth

Sama seperti hari-hari pada kampanye pemilihan presiden (Pilpres) periode sebelumnya, aktifitas sehari-hari tampak tidak terlihat buruk. Namun, di musim kampanye tahun ini seperti pergantian dari musim panas ke musim hujan, hal itu tidak bisa dibilang baik.

Kampanye politik tahun ini, bisa dibilang sangat buruk, kabar bohong, fitnah, caci maki dan merendahkan beterbangan silih berganti di media. Keutuhan dan kesatuan bangsa bukan tidak ada lagi, melainkan nyaris menghilang.

Tidak ada keluarga, tidak ada kawan, tidak ada teman dan sahabat, yang ada hanya kebencian semata. Kampanye pilpres nyaris mengkotak-kotakan antar agama, ideologi, ras, budaya, hukum dan kultur masyarakat.

Doktrin silih berganti, semakin dekat pemilihan semakin kuat pula doktrin politik antar kubu. Persis seperti nalar Machiavelli dalam buku Discourses on Livy and The Prince yang memetakan kekuasan politik menjadi dua bagian. Pertama dengan hukum, kedua dengan kekuatan.

Machiavelli memberi gambaran bahwa hanya ada dua cara itulah untuk betempur dalam politik. Pilihan pertama, jika dengan hukum bagainya adalah cara manusia, sementara pilihan kedua ialah cara yang dilakukan oleh binatang. Kedua cara itu bisa dilakukan oleh para politisi, jika memeiliki nafsu untuk memenangkan dan berkuasa.

Baca juga: Agama dan Topeng Politik

Sebagai pemikir politik di abad pertengahan menuju abad modern, di Eropa Machiavelli bisa di katakan berhasil dalam merumuskan desain praktik politik yang memaksa harus menang dan unggul. Menurutnya, penguasa (politisi) harus mampu menjadi seekor singa sebagai si raja hutan dan rubah. Politisi menjadi singa karena harus tampil tegar, kuat tanpa lelah dan menakutkan, namun tidak cukup menjadi singa saja, mereka harus menjadi rubah, sebab politisi di waktu-waktu tertentu harus licik sebagai mana rubah. Singa memanglah kuat tetapi ia tidak bisa mengendus tajamnya jebakan seperti rubah.

Doktrin politik Machiavelli, tampaknya cocok untuk menggambarkan keadaan politik di tahun 2018 lalu, dan 2019 menjelang pilpers 17 April mendatang. Pada prinsip politiknya yang mengantarkan anti moralitas itu seolah menegur kita dalam rangkaian perang narasi politik yang hadir menghantui antar kubu lawan.

Misalnya dalam kasus pengusutan penistaan agama atau pelecehan terhadap kubu A atau B, mereka tampil menyeramkan bagaikan singa, di sisi lain ia juga sangat lihai bagaikan rubah, dengan menyebarkan berita dan argumentasi meskipun diserang kanan dan kiri. Tanpa rasa lelah para tim kampaye (Buzzer) politik saling menyerang melui serangan udara di media baik itu facebook, twitter, instagram dan sejenisnya.

Tidak berlebihan, dampaknya berbagai label diterima oleh tiap-tiap kubu, ada kubu Cebong yaitu label bagi Tim Jokowi dan kubu Kampret yang di berikan pada Tim Prabowo. Lihat saja sinisme yang hadir di kolom komentar media-media sosial hari ini, sampai pada pemberian judul di beberpa berita media yang padat dengan istilah sebagai beriku: korup, tidak memiliki prestasi, rakus, tidak punya nurani dan bermoral.

Baca juga: Transformasi Nilai dan Norma yang Gagal

Serangan Post Truht

Apa saja bentuknya pola serangan politik di media, misalnya kritik pedas dan gugatan antar kubu, selalu berhasil dan tidak membekas pada elite melainkan membekas di tubuh masyarakat. Ruang publik dan masyarakat dibanjiri mitos dan opini. Masyarakat hanya menjadi corong adu domba oleh pemilik modal. 

Sampai hari ini, pola yang di bangun begitu strategis, para oposisi mampu memanfaatkan media sebagai alat untuk membuat masyarakat percaya dan yakin bahwa kubu ini atau itulah yang terbaik, sementara kebohongan sangat masif dicegah. Misalnya, kebohongan Ratna Sarumpaet, eks pendukung Prabowo, menghancurkan image Prabowo dan timnya secara dahsyat (dahsyat nya sempat tertutup isu besar dan berita kemanusiaan, hukum, sosila dll).

Secara dialektika, istilah post truth politik bisa dikatan merujuk pada diskursus dan kompetisi politik di media masa yang dipenuhi unsur atau pertempuran politik “fake news” kebohongan, propaganda palsu, bahkan fitnah untuk mempengaruhi opini publik para pemilih.

Publikasi serangan udara memang bisa lama jika terus di goreng oleh media yang pemiliknya memilih ikut salah satu calon, ada pula yang bersifat sementara seperti pemberitaan yang cepat basi. Tekanan media, akhirnya jatuh mengikuti pola yang sama memberi tontonan politik sesaat dan sesat. Tentu para politisi tidak bodoh, sudah pasti mereka bermain.

Baca juga: Kuasa Politik Feodal di Kampus Kita

Jika keadaan demikian, maka harus ada perubahan yang signifikan untuk menjaga keutuhan bangsa, agar para tim kampanye bisa menjaga etika politik dan melakukan kerja politik yang sehat. Mengulang serangan terus menerus oleh setiap kubu melalaui media, yaitu dengan mengubar kebencian, kabar bohong, fitnah, caci maki dan merendahkan, memperlihatkan bentuk frustasi kubu elite politik tertentu.

Albert Einstein ilmuan fisika pernah mengatakan bahwa mendambakan perubahan dengan melakukan pengulangan dengan cara yang sama ialah kegilaan, artinya bahwa kita memerlukan perubahan yang positif dan segar agar tidak dianggap gila.

Sudah saatnya kebencian politik antar kubu berakhir, rakyat ini membutuhkan spirit baru dengan metode baru. Spirit itu ialah metode kampanye dengan sistemantis dan terus menerus menularkan narasi yang santun dan baik, bila perlu sebagai generasi bangsa, kita menjadi musuh para politisi, partai dan tim kamapanye penyebar kebohongan, janji palsu, mencaci serta mereka yang korup, rakus, tidak punya nurani dan moral.

Contoh “post truth” di atas bisa menjadi bahan kajian berharga dari kebohongan yang dibuat. Kontestasi perang informasi politik dalam konteks “post truth” mengajarkan bahwa perlu adanya pengawasan untuk mencapai politik yang menghasilkan output ideal, smart dan komprehensif.

Baca juga: Mencela Manusia Sama Saja Menghina Penciptanya

Sementara metode lain yang harus dilakukan ialah meningkatkan kesadaran dengan melakukan riset, kajian, dan menggali informasi dari media apapun yang memperlihatkan kecacatannya. Namun, hal semacam itu tidak bisa dilakukan sesaat, karena memerlulan proses dan nafas yang panjang setiap waktu. Narasi politik setiap kampanye para tim harus sinergi dengan civil society baik itu LSM, buruh, pers, lembaga riset, petani dan kekuatan lainnya.

Namun syarat di atas hanya bagian kecil yang ada, yang paling penting dari semua itu adalah merebut independensi dari diri kita yang masih rentan dimanfaatkan politisi dengan iming-iming bayaran. Posisi inilah yang mebuktikan bahwa kita yang terlibat pertarungan di dalam politik sudah didekte. Padahal sejatinya, rakyat, khususnya generasi penerus bangsa yang melakulan pengawasan secara ketat.

Sayangnya, sampai saat ini cita-cita itu hanya sebatas imajinasi belaka, publik dan generasi bangsa masih mengalami kekurangan referensi dan kehilangan pubik figur politisi baik dan ideal untuk melawannya. Itulah yang sesungguhnya masalah besar kita. Rakyat dari hari ke hari hanyalah wayang yang dimainkan oleh elite melalui media.

Penulis: Mohamad Subekhi

baca juga

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0PengikutMengikuti
3,609PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

terkini