Buy now

33 C
Semarang
Kamis, April 18, 2024
spot_img

Perempuan dalam Jeratan Undang-Undang

Foto: Lpmmissi.com/ Law-justice.co.

Meski dalam masa pandemi virus Corona, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terus bermanuver dengan agenda rapat yang tertutup. Pembahasan dan pengesahan sejumlah Rancangan Undang-undang (RUU) baru berpotensi merugikan beberapa kelompok, salah satunya ialah kaum perempuan.

Pada era reformasi saat ini, kemajuan perlindungan dan hak-hak perempuan kini dihalangi dengan hadirnya RUU baru. Seolah-olah menegaskan bahwa perempuan terus menjadi korban dalam berbagai aspek. Bukan hal baru jika perempuan diasosiasikan sebagai warga kelas dua di Indonesia. 

Hak-hak perempuan juga masih terbatas, mereka rentan menjadi korban kekerasan. Perjuangan kesetaraan perempuan dalam perspektif gender sangatlah sulit. Belum ia melawan budaya patriarki yang sudah mengakar, kini harus berhadapan dengan dinding besar dalam jeratan RUU baru seperti RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP), RUU Ownibus Law Cipta Lapangan Kerja, dan RUU Ketahanan Keluarga.

Baca juga: Mengakui dan Mengingkari Martabat Perempuan

Patriarki sendiri adalah sebuah sistem yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, mendominasi semua aspek kehidupan. Dalam hal ini perempuan hanya dinomor duakan bahkan masih ada anggapan sebagai kaum lemah. Sejak zaman nenek moyang pun laki-laki sudah menjadi pemeran utama, ketika ia pergi berburu. Sedangkan perempuan hanya menunggu hasil buruannya dan mengolahnya. 

Fenomena itu mengingatkan apa yang disampaikan oleh Max Striner (1845), seorang pemikir Jerman bahwa setiap individu baik laki-laki maupun perempuan memiliki kebebasan untuk menentukan mana yang baik bagi dirinya sendiri, apa yang dimauinya, dan hanya individu tersebutlah yang dapat memutuskan apakah ia benar atau salah.

Apa yang diimani oleh Striner justru berbanding terbalik dengan realita yang terjadi dalam masyarakat kita saat ini. Perempuan sebagai masyarakat jika kita pandang dari sudut keseteraan gender, maka perempuan belumlah menjadi individu yang bebas seperti apa yang dikatakan Striner tersebut. 

Baca juga: Sayidah Aisyah Tak Sekadar Lagu “Aisyah Istri Rasulullah”

Perkembangan RUU KHUP dan Ownibus Law Cipta Kerja pada minggu ini menjadi prioritas dalam pembahasan dan pengesahannya. Padahal RUU tersebut banyak ditentang oleh aktivis maupun masyarakat. Sebab didalamnya terdapat sejumlah pasal kontroversi yang mengancam hak asasi manusia khususnya kaum perempuan.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Siti Aminah menjelaskan ada 32 isu norma-norma dalam KUHP adanya ketimpangan relasi gender. Hal itu dapat berpotensi menimbulkan diskriminasi dan kekerasan, kerugian fisik, ekonomi, psikis, seksual bagi kelompok rentan khususnya perempuan. 

Dalam dunia industri RUU Ownibus Law Cipta Lapangan kerja juga berpotensi menindas hak perempuan. Dimana didalam draft Ownibus Law yang sedang digenjot, tidak ada sama sekali pasal yang menyinggung hak-hak pekerja atau buruh perempuan.  Oleh karena itu, hak cuti hamil selama tiga bulan dan cuti haid berpotensi tidak ada.

Baca juga: Mencela Manusia Sama Saja Menghina Penciptanya

Berbanding terbalik dengan undang-undang sebelumnya nomor 13 tahun 2003, tentang hak-hak perempuan disebutkan normatif. Dimana pekerja perempuan melahirkan dapat cuti 1,5 bulan sebelum dan sesudah melahirkan. Kemudian dalam pasal 81 Undang-undang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa perempuan yang sedang haid hari pertama dan kedua tidak diwajibkan bekerja.

Perlawan terus digaungkan oleh aktivis perempuan dari Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Ardany Nuril Fahma, ia meresahkan Ownibus Law tersebut karena tidak ada keberpihakan pada hak-hak perempuan. Menurutnya melahirkan itu hak bilogis, jika ada itu disahkan berarti para pekerja perempuan tidak boleh hamil atau tidak boleh punya keturunan. 

Dalam sejarah awal pergerakan perempuan Indonesia pada saat pergantian abad ke-20, sejak perempuan Indonesia mendapat kesempatan untuk bersekolah dari pemerintah kolonial Belanda. Pada masa Orde Lama, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) mencoba memberi warna pada kebijakan yang berdampak pada perempuan, seperti upah pekerja dan menolak poligami.

Baca juga: Transformasi Nilai dan Norma yang Gagal

Perlu diingat sejarah kelam pernah dialami marsinah, buruh perempuan yang dibunuh dengan keji ketika ia memperjuangkan hak-hak buruh. Begitu kejamnya zaman orde baru, sekali ada yang mengkritik langsung dilenyapkan. Kasus kematian marsinah yang masih misteri pun terus digaungkan sampai sekarang, karena kasusnya jelas telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

Selanjutnya di dalam RUU Ketahanan Keluarga pun terdapat pasal yang akan melemahkan kaum perempuan. Salah satu yang kontroversial adalah peran perempuan pada Pasal 25 ayat (3). Dalam aturan itu ditulis istri hanya punya tiga tugas yang berkaitan dengan urusan domestik keluarga. Pertama, istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, kedua, menjaga keutuhan keluarga dan memperlakukan suami dan Anak secara baik, serta terakhir memenuhi hak-hak suami dan Anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menyebutkan RUU Ketahanan Keluarga melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Alasannya karena ia tak sepakat urusan domestik keluarga sampai diatur dalam undang-undang. Maka masalah relasi rumah tangga merupakan urusan antara suami dengan istri.

Baca juga: Agama dan Topeng Politik

Jika RUU ketahanan keluarga ini benar-benar disahkan, tentu akan menjadi kemunduran dan secara tidak langsung sebuah pelemahan bagi kaum perempuan. Hal ini bertolak belakang dengan perkembangan zaman, dimana perempuan sudah banyak melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi. Namun sangat disayangkan ilmunya tidak terpakai kalau perempuan harus dipaksa untuk kembali mengurus perihal domestik.

Padahal sudah puluhan tahun Indonesia merdeka, segala upaya perlawanan perempuan untuk mendapatkan keadilan agar tidak dinomor duakan. Justru terpenjara oleh institusi formal hukum dan akan melemahkan nilai juang perempuan. Semangat pembuat undang-undang yang kurang memihak pada perempuan, cenderung mengembalikan domestifikasi dan menindas martabat perempuan.

Oleh: Fitroh Nurikhsan

baca juga

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0PengikutMengikuti
3,609PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

terkini