Buy now

28 C
Semarang
Selasa, April 16, 2024
spot_img

Keberanian Memilih tidak Menikah Dini dan Realitas Dampak Pernikahan Dini

foto: doc. lpmmissi.com

Judul buku: Yuni
Penulis: Ade Ubaidil, Kamila Andini, dan Prima Rusdi
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Januari 2022
Jenis buku: Novel

 

Isu pernikahan dini sepertinya tidak akan habis dibahas hingga kini. Pernikahan dini pun di beberapa daerah dianggap lazim dilakukan terhadap remaja yang telah memasuki masa pubertas. Hal tersebut dianggap lazim karena menurut pandangan agama untuk menghindari zina, perempuan akan berakhir menjadi istri dan seorang ibu, anggapan tidak baik menunda pernikahan, anggapan tidak baik menolak lamaran, faktor ekonomi, dan sebagainya.

 

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase pernikahan dini di Indonesia meningkat dari tahun 2017 yang hanya 14,18 persen menjadi 15,66 persen pada 2018. Bahkan, pada masa pandemi, tren pernikahan dini pun meningkat. Pada 2021, Kementerian Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (PPPA) mencatat, 64.000 anak di bawah umur mengajukan dispensasi menikah selama pandemi Covid-19.

 

Lantas pernikahan seperti apa yang dapat dikatakan pernikahan dini? Jadi, pernikahan dini ialah pasangan yang menikah salah satu atau keduanya masih dikategorikan anak-anak atau remaja. Jika mengacu Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 Tentang perkawinan minimal usia menikah ialah 19 tahun bagi laki-laki maupun perempuan. Dari undang-undang tersebut, orang yang menikah di bawah umur 19 tahun dapat dikatakan pernikahan dini. Sementara menurut United Nations Children’s Fund (UNICEF), pernikahan usia dini adalah pernikahan yang dilaksanakan secara resmi ataupun tidak resmi sebelum usia 18 tahun.

 

Persoalan-persoalan hak pendidikan dan menentang pernikahan dini pun disuarakan melalui Novel Yuni. Novel ini diadaptasi dari skenario film berjudul sama, Yuni. Film Yuni pun telah tayang di bioskop pada 9 Desember 2021. Novel Yuni ditulis oleh Ade Ubaidil, Kamila Andini, dan Prima Rusdi. Novel ini pun menjadi alat menyuarakan bahwa isu pernikahan dini bukanlah hal tabu.

 

Novel Yuni mengisahkan seorang siswi SMA bernama Yuni. Ia hidup di lingkungan ekonomi menengah ke bawah. Selain itu, baik di keluarga dan masyarakat masih memiliki anggapan buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi dan lebih baik menikah. Menolak lebih dari dua kali lamaran pun menjadi hal tabu di lingkungannya.

 

Namun, Yuni tetap memilih untuk melanjutkan kuliah setelah ia lulus SMA. Yuni dikenal siswi yang cerdas di sekolahnya. Masalah keterbatasan ekonomi tak menyurutkan Yuni untuk lanjut kuliah. Terlebih ia didukung oleh gurunya, Bu Lis. Bu Lis mendukungnya dengan mencarikan informasi beasiswa kuliah di berbagai perguruan tinggi.

 

Yuni diceritakan sering berkonsultasi dan bercerita keinginannya untuk kuliah kepada Bu Lis. Suatu ketika Bu Lis dipanggil kepala sekolah dan diingatkan untuk tidak terlalu mengharapkan siswa-siswa sekolahnya dapat melanjutkan kuliah. Alasannya siswa sekolah tersebut banyak dari ekonomi yang kurang bercukupan dan tradisi menikah dini di masyarakat.

 

Di sinilah tokoh Bu Lis dapat kita nilai seorang yang membawa perubahan dengan berani melalui upaya yang dapat dilakukan. Secara tidak langsung, Bu Lis penentang pernikahan dini. Ia sosok yang diperlukan di lingkungan yang memiliki pandangan yang perlu diubah untuk memberdayakan dan mencapai masa depan generasi muda. Namun, dalam novel ini pula secara tidak langsung menjelaskan bahwa usaha seseorang belum tentu berhasil dan perlu dukungan pihak lain.

 

Ternyata masalah ekonomi penghalang terbesar melanjutkan pendidikan, apa lagi Yuni didukung oleh orang tuanya. Dua lamaran tiba sebelum tamat SMA, dua lamaran itu pula Yuni tolak. Mimpinya untuk melanjutkan kuliah dengan beasiswa masih bergejolak. Yuni tak ingin tidak kuliah karena menikah. Apa lagi syarat mendapatkan beasiswa ialah belum menikah.

 

Yuni terkejut ketika mendengar percakapan Mang Dodi, paman dari sahabatnya Sarah, melamar dirinya sebagai istri kedua dari dalam kamar. Apa lagi Ndek atau nenek Yuni yang menemui Mang Dodi diiming-imingi uang lebih jika Yuni masih perawan. Hingga Yuni gelisah dan memutuskan melepaskan perawannya dengan adik tingkat. Yuni seorang pun yang mengembalikan uang yang diberikan sebagai mahar kepada Mang Dodi.

 

Realitas Pernikahan Dini

 

Yuni secara tidak langsung mengetahui dari dua orang yang ia kenal. Suci, orang yang ia kenal ketika membeli minum dan mereka saling bertemu untuk Yuni dirias Suci di salonnya. Suci pernah menikah ketika usia sekolah. Namun, pernikahannya berakhir karena Suci tak dapat memberi keturunan karena organ reproduksi yang belum siap. Hingga Suci dianggap menjadi aib keluarga. Suci pun memutuskan hidup sendiri agar lebih bebas.

 

Lain dengan sahabatnya Yuni sendiri, Tika. Tika menikah dan putus sekolah. Tika menerima menikah dengan seorang sopir truk. Tika menerima karena anggapan perempuan akan hanya ke dapur, menjadi istri dan seorang ibu. Anggapan lebih cepat menikah pun mempengaruhi Tika. Namun, persoalan ekonomi ini menjadi masalah keluarga Tika yang mengharuskan suaminya bekerja dan jarang pulang. Suaminya pun merasa tidak nyaman ketika di rumah Tika tinggal bersama orang tua Tika. Begitu pula sebaliknya.

 

Di sinilah pernikahan dini digambarkan tidak memberikan solusi maksimal terhadap masalah yang ditakutkan seperti perzinaan, ekonomi, dan sebagainya. Pernikahan dini dapat memberikan dampak biologis terutama perempuan. Karena pada usia remaja alat produksi masih dalam proses pertumbuhan sehingga belum siap melakukan hubungan seksual hingga hamil.

 

Secara psikis, pada usia pertumbuhan, remaja belum siap mengerti tentang hubungan seksual, sehingga akan menimbulkan trauma yang berkepanjangan dalam jiwa anak dan sulit disembuhkan. Pola pikir yang belum dewasa dan emosional yang labil pun dapat memicu kekerasan secara verbal maupun fisik.

 

Pernikahan dini mengurangi kebebasan pengembangan diri, masyarakat akan merasa kehilangan sebagai aset remaja yang seharusnya ikut bersama-sama mengabdi dan berkiprah di masyarakat. Tak hanya itu, juga berdampak pada hak pendidikan yang harusnya didapatkan. Selain itu, permasalahan ekonomi pun dapat berujung perceraian.

 

Novel Yuni juga memberikan gambaran bahwa siapa pun baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak kebebasan untuk menentukan nasibnya. Ini ditunjukkan dengan sikap Ndek atau nenek dan orang tua Yuni yang tidak memaksakan Yuni harus segera menikah setelah dilamar. Mereka menerima apa yang menjadi keputusan Yuni walaupun di lingkungannya menolak lamaran ialah hal yang tabu.

 

Berbahasa Jaseng

 

Novel Yuni pun memiliki keunikan, yaitu menggunakan bahasa daerah dalam dialog tokohnya. Bahasa Jawa Serang (Jaseng). Bahasa Jaseng merupakan bahasa daerah yang berkembang di daerah Tangerang dan Banten.

 

Bahasa Jaseng terpengaruh oleh bahasa Sunda dan Betawi. Selain itu, bahasa lokal ini memiliki ciri khas pada pelafalan huruf “E”. Seperti Bahasa Jawa saya, Kula, jika di daerah Jawa tengah menjadi vokal “o”, kulo. Namun, pada pengucapan Bahasa Jaseng menjadi Kule.

 

Ahmad Fauzi atau Qinzink La Visa seorang sastrawan dan pendiri Komunitas Bahasa Jaseng menaksir hanya ada 4 juta penutur Bahasa Jaseng. Ia pun mengatakan dari 4 juta penutur tidak semuanya sebagai penutur aktif. Mengutip dari Artikel “Jaseng Mendamba Oscar” yang terbit di Harian Kompas 12 Desember 2021, Qinzink yang turut melatih pemain film Yuni berbahasa Jaseng, mengatakan, Bahasa Jaseng dianggap kampungan bahkan bagi beberapa remaja malu berbahasa Jaseng.

 

Film Yuni maupun Novel Yuni selain menyuarakan isu pernikahan dini, juga mengenalkan lebih luas Bahasa Jaseng pada khalayak. Terlebih Film Yuni telah meraih penghargaan internasional. Novel Yuni Bahasa Jaseng sudah diberi arti dalam Bahasa Indonesia tetapi beberapa bagian masih ada Bahasa Jaseng yang sulit dimengerti oleh pembaca.

 

Resentator: Muhammad Irfan Habibi

baca juga

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0PengikutMengikuti
3,609PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

terkini