Buy now

29 C
Semarang
Jumat, Maret 29, 2024
spot_img

Cerpen “Ketika Cinta Berbicara”


foto:lpmmissi.com/www.andriewongso.com
cerpen 

Oleh: D.N. Wuland
Tatapannya kosong. Tubuhnya kaku, berhadapan dengan seorang lelaki yang menunjukkan amarah dari pandangannya. Mereka masih terus terpaku ditempat yang sama. Akhirnya salah satu dari mereka bersuara.
“Jadi seperti ini rupa kau sebenarnya?” bentak lelaki itu. Suaranya lantang. Udara malam yang perlahan turun ke bumi, membuat suara lelaki itu bak geledek yang membelah kesunyian.
Gadis itu masih diam. Aku mulai merasakan diriku semakin berat, perlahan tubuhku melemah. Aku datang bukan untuk berakhir seperti ini, pikirku. Masih ingatkah kalian bagaimana aku dengan lembut mendatangi kalian?Mungkin aku perlu menceritakannya kembali pada kalian. Tentu kau juga ingin tau, bukan?
***
“Hei, aku Joni.” ucap lelaki itu.
“Aku Jenar,” jawab gadis yang saat ini ada di depannya.
Saat itu aku perlahan hadir di antara mereka. Sejak saat itu mereka selalu bersama. Tak terlupakan aku juga bersama mereka. Kita tak terpisahkan. Pernah suatu kali  mereka terpisah satu bulan. Tapi Joni menuliskan puisi-puisi kerinduan yang tak pernah dikirimkan pada Jenar. Puisi itu menguatkanku. Aku hembuskan kerinduan itu pada sang gadis. Ada pagar-pagar beton mengelilinginya. Kerinduaan itu aku buat melewati setiap celah-celah kecil yang ada. Ah, hangat.
***
Tubuh lelaki itu menghimpitku. Jenar mendorongnya sangat kuat hingga tubuh Joni menghantam tembok. Kali ini mata gadis itu sudah berubah menjadi liar. Seperti tatapan harimau yang siap menerkam mangsanya. Udara terasa semakin panas mengelilingi kami. Amarah mereka bak api dalam sekam, yang siap untuk semakin membesar. Tak ingatkah kalian ketika kesejukan ada di sekeliling kita dan air menjadi kehidupan kita.
***
Joni datang ke rumah inde kos Jenar. Dia membawa sebuah tanaman. Dia tahu sang gadis suka berkebun. Bukan bunga mawar yang ia bawa, bukan pula Anggrek, apalagi melati, melainkan bibit buah mangga
“Kenapa kau membawa pohon ini ke rumahku?” protes Jenar.
“Karena apel tidak mungkin bisa ditanam di kota yang sepanas ini.”
“Maksudku kenapa kau membawanya kemari?”
“Oh…ini mau aku tanam di sini.”
“Kenapa nggak di rumahmu sendiri?”
“Kau kan tahu aku tinggal di kontrakan kecil, nggak punya halaman, lagi pula kau kan juga sudah biasa berkebun.”
“Memang sih, tapi aku kan hanya menanam bunga. Eh…tunggu, kamu nyuruh aku nanam dan ngrawat ini pohon?”
Lelaki itu menyeringai.”Kurang lebih…, tapi aku akan merawatnya juga kok.”
Diskusi itu berjalan terus, sangat lama. Tidak mudah berdiplomasi dengan gadis itu, ia sulit untuk ditaklukkan. Hingga akhirnya Jenar menyerah. Joni memenangkan diplomasi alot ini dengan sedikit belas kasihan dari Jenar.
Lelaki itu meminjam sekop dan peralatan berkebun Jenar. Dia menanam pohon itu di depan jendela kamar gadis itu. Jenar keluar sambil membawa selang air.
“Kau melupakan ini.” Jenar menyambungkan selang pada keran, kemudian menyiramkan air ke bibit pohon mangga yang baru di tanam Joni. “Kalau mau menanam pohon harus disiram seperti ini sebagai tanda awal kehidupannya, dan untuk seterusnya kau juga harus terus melakukannya. Kau juga harus sering memberinya pupuk, supaya dia cepat berbuah.” Terangnya sambil menyiram tanaman yang lain.
Suara kicauan burung mengalihkan perhatiannya. Awalnya hanya satu, kemudian berdatangan burung-burung yang lain. Dia merasa heran dengan peristiwa langka itu.
 “Aneh…” bisiknya, tapi suaranya masih terdengar oleh Joni.
“He…aneh apa?”
“Ah enggak, itu ada burung gereja di sini, biasanya tidak ada”
“Mungkin pohon manggaku yang mendatangkan mereka.”
 “Ah gak mungkin, eh lagian ngapain kamu nanem pohon mangga? Di jalan kan banyak yang jual mangga. Lagian pohon kayak gini baru berbuah setelah 3 atau 5 tahun lagi.”
“Ehhmmm…, tuh tanamanmu merengek minta air.” Joni mengalihkan pembicaraan untuk menghindari pertanyaan Jenar.
“Eh kok mati, Joni jangan ngerjain aku deh”
“Enggak kok emang itu mati sendiri, nih dari tadi aku di sini”
Jenar mengecek sambungan selang pada keran, masih utuh. Joni melepaskan lipatan selang yang sedari tadi dia sembunyikan di belakang punggungnya. Alhasil baju Jenar basah kuyub tersiram air. Gadis itu membalas dengan menyemprotkan air pada sang lelaki. Mereka seperti anak kecil sedang bermain air sambil diselimuti senja yang cerah.
***
Angin berhembus semakin kencang, seolah membuat amarah kian membara. Udara-udara beku di sekeliling kami tak mampu menetralkan keadaan. Air muka mereka tampak semakin jalang, menunjukkan amarah yang bercampur kekecewaan.
***
Separuh dari diriku berada pada relung hati gadis itu. Dan separuhnya lagi aku biarkan tetap berada dalam diri lelaki itu. Kemudian aku menciptakan kerinduan yang amat mendalam pada mereka. Saat kerinduan sudah merasuki dalam jiwa, bentukku menjadi semakin mendekati sempurna.
Aku menjadi mata ketiga mereka yang saling mengawasi satu sama lain. Setiap malam aku mendatangi mereka, tidak perduli cerah maupun hujan. Menjelma menjadi angan untuk selalu bersama. Aku memasuki mimpi-mimpi mereka dan menyelipkan kisah kasih di antara kilasan-kilasan adegan dalam mimpi mereka.
Suatu ketika aku melakukan eksperimen. Aku memasuki logika Joni. Berhasil. Aku menjadi suara-suara pikiran yang menyadarkan perasaannya. Kemudian aku mencoba memasuki logika Jenar. Tidak bisa. Ada banyak ambisi-ambisinya yang menghadangku. Aku memaksa untuk masuk, tapi mereka membentuk pagar yang menghalangiku.
Aku tidak menyerah. Aku menjelma menjadi ide-ide untuk menyatakan perasaan lelaki itu padanya. Dia mempersiapkan semuanya sepanjang siang. Semuanya sudah disiapkan dikantor Jenar, ia akan datang ke kantor sore ini.
Sebagian dari diriku mengatakan bahwa jenar merasa gelisah, menanti Joni yang tidak datang ke rumahnya siang ini. Berhasil, aku sudah bisa menguasai relung hatinya. Sebentar lagi bentukku akan sempurna.
Ini adalah malam yang cerah. Meskipun bintang tidak bisa terlihat dari kota ini, tapi lampu-lampu sudah cukup menggantikannya. Joni mengundang Jenar ke atap gedung. Lilin sudah dia nyalakan. Sebuah makan malam romantis sudah siap.
Suasana makan malam kali ini berlangsung tenang. Sunyi tidak ada suara diantara keduanya. Joni menyatakan perasaannya, “Aku mencintaimu.”
Jenar diam. Gadis itu seperti sedang berpikir, atau lebih tepat dikatakan melamun. Pikirannya melayang jauh, meninggalkan dirinya yang sedang bersama Joni. Tiba-tiba teleponnya berdering. Ah! siapa ini mengganggu saja, batinku.
“Kau masih berhubungan dengannya?” ucapan Joni mengagetkanku
“Ah ini bukan urusan kamu, tadi kau bilang apa?”
“Aaah… tidak penting. Aku sudah bilang kau tidak perlu berhubungan lagi dengan orang brengsek itu.” Nada suaranya meninggi membuat Jrnar ketakutan.
“Kamu kenapa sih?” suaranya bergetar.
“Kamu yang kenapa?” Suaranya semakin meninggi.
“Aku pulang saja.” Jenar melangkah masuk kedalam gedung dan menuruni tangga dengan langkah cepat.
Joni mengejarnya. Saat sampai di luar gedung, dia berhasil meraih tangan Jenar. Gadis itu memberontak dan terjadilah pertengkaran ini. Aku tidak mengerti apa yang salah? Semuanya seperti sudah kulakukan dengan prosedur yang benar.
***
Langit tiba-tiba berubah menjadi kelam. Ia menurunkan setetes air, kemudian berubah menjadi guyuran hujan. Setelah terpental ke tembok, Joni kembali meraih tangan Jenar. Kali ini dia juga mencengkeram tubuh gadis itu kuat-kuat. Tapi dia berontak. Dia berhasil melepaskan diri. Tapi sekali lagi lelaki itu berhasil menangkapnya. Jenar mendorong joni hingga tubuhnya terhempas ke tanah. Aku tidak mengerti apa yang salah?
Hujan membisikiku, “Cintailah kekasihmu sewajarnya saja karena bisa saja suatu saat nanti ia akan menjadi orang yang kamu benci. Bencilah sewajarnya karena bisa saja suatu saat nanti ia akan menjadi kekasihmu.” Kalimatnya tersamar di antara gemuruh suara angin, tapi aku masih bisa mendengarnya.  Perkataannya mengingatkanku akan sesuatu. Tapi apa?
Kemudian angin menarikku paksa. Dia berkata, “Pasti akan mendapat cinta-Nyaorang-orang yang cinta-mencintai karenaTuhan.” Sekarang aku mengerti aku telah melupakan untuk menghadirkan Tuhan dalam diri mereka. Aku hanya menjadi belenggu untuk mereka.
Aku mencoba kembali ingin meluruskan masalah ini. Tapi terlambat angin sudah menghantamku menjadi kepingan-kepingan kecil. Aku semakin jauh dari tubuh lelaki itu yang tersungkur, menatap jenar yang berlari menjauhinya. Hanya ada hujan yang menemaninya.
*Cerpen ini tercipta dari penginterpretasian saya mengenai lagu SUARA PIKIRANKU-NOAH. Dan saat mencipta cerpen ini saya mendengarkan lagu itu dan MENUNGGUMU-NOAH untuk menghidupkan imajinasi saya.

baca juga

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0PengikutMengikuti
3,609PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

terkini